Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara
Cerita macam itu berkembang ke arah salah kaprah. Entah siapakah yang bercerita, kabut tebal itu memang disengaja oleh para dewa di kayangan agar wajah cantik para bidadari yang turun dari kayangan melalui pelangi jangan sampai dipergoki manusia. Para bidadari itu turun untuk memberikan penghormatan kepada satu-satunya wanita di dunia yang terpilih sebagai sang Ardhanareswari, yang berarti wanita utama yang menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa ini. Maklum sebagai sang Ardhanareswari, Ken Dedes adalah titisan dari Pradnya Paramita, dewi ilmu pengetahuan. Apa benar kabut tebal itu turun karena para bidadari turun dari langit? Gajah Mada tidak bisa menyembunyikan senyumnya dari kenangan kakek tua, yang menuturkan cerita itu dan mengaku memergoki para bidadari itu, lalu mengambil salah seorang di antara mereka menjadi istrinya. Gajah Mada ingat, anak kakek tua itu perempuan semua dan jelek semua, sama sekali tidak ada pertanda titisan bidadari.
"Mirip cerita Jaka Tarub saja," gumam Gajah Mada sekali lagi untuk diri sendiri. "Lagi pula, setahuku tidak pernah ada pelangi di malam hari. Pelangi itu munculnya selalu siang dan ketika sedang turun hujan."
Lebih jauh soal kabut tebal pula, konon ketika Calon Arang, si perempuan penyihir dari Ghirah marah dan menebar tenung, kabut amat tebal membawa penyakit turun tak hanya di wilayah tertentu. Namun, merata di seluruh negara, menyebabkan Prabu Airlangga dan Patih Narottama kebingungan dan terpaksa minta bantuan kepada Empu Barada untuk meredam sepak terjang wanita menakutkan itu. Empu Barada benar-benar sakti. Empu itu menebas pelepah daun keluwih yang melayang terbang ketika dibacakan japa mantra. Beralaskan pelepah daun itulah Empu Barada terbang membubung ke langit dan memperhatikan seberapa luas kabut pembawa tenung dan penyakit. Empu Barada melihat, ampak-ampak pedhut itu memang sangat luas dan menelan luas negara dari ujung ke ujung. Untunglah cahaya Hyang Bagaskara yang datang di pagi harinya mampu mengusir kabut itu menjauh tanpa tersisa jejaknya sedikit pun.
"Hanya sebuah dongeng," gumam Gajah Mada untuk diri sendiri. Kabut tebal itu memang mengurangi jarak pandang dan mengganggu siapa pun untuk mengetahui keadaan di sekitarnya. Ketika sebelumnya siapa pun tak sempat memikirkan, itulah saatnya siapa pun mendadak merasakan bagaimana menjadi orang buta yang tidak bisa melihat apa-apa. Pada wilayah yang kabutnya benar-benar tebal, untuk mengenali benda-benda di sekitarnya harus dengan meraba-raba.
Akan tetapi, tidak demikian dengan anjing yang menggonggong sahut- sahutan ramai sekali. Apa yang dilakukan anjing itu laporannya akhirnya sampai ke telinga Gajah Mada. Gajah Enggon yang meminta izin untuk bertemu segera melepas warastra, sanderan dengan ciri-ciri khusus yang dibalas Gajah Mada dengan anak panah yang sama melalui isyarat khusus pula. Dari jawaban anak panah itu Gajah Enggon dan Gagak Bongol mengetahui di mana Gajah Mada berada. Gagak Bongol dan Enggon segera melaporkan temuannya.
"Ditemukan mayat lagi, Kakang Gajah," Gajah Enggon melaporkan. Gajah Mada memandangi wajah samar-samar di depannya. "Mayat siapa?"
"Prajurit bernama Klabang Gendis mati dengan anak panah menancap tepat di tenggorokannya. Tak ada jejak perkelahian apa pun, sasaran menjadi korban tanpa menyadari arah bidikan anak panah tertuju kepadanya."
Gajah Mada merasa tak nyaman memperoleh laporan itu. Orang yang. mampu melepas anak panah dengan sasaran sulit pastilah orang yang sangat menguasai sifat gendewa dan anak panahnya. Orang yang mampu melakukan hal khusus macam itu amat terbatas dan umumnya ada di barisan pasukan Bhayangkara. Adakah prajurit Bhayangkara yang terlibat?"
"Dan kami temukan mayat kedua," Gagak Bongol menambahkan. "Pelaku pembunuhan menggunakan anak panah itu mati dipatuk ular.
Mayatnya dicabik-cabik beberapa ekor anjing. Pembunuh yang terbunuh ini, menyisakan jejak rasa kecewa di hati kita, Kakang. Aku tahu, Kakang Gajah pasti kecewa mengetahui siapa dia?"
Gajah Mada menengadah memandang langit. Namun, tak ada apa pun yang tampak kecuali warna pedhut yang makin menghitam legam.
"Bhayangkara?"
"Ya," jawab Gagak Bongol. "Siapa?" lanjut Gajah Mada.
Gagak Bongol dan Senopati Gajah Enggon tidak segera menjawab dan memberikan kesempatan kepada Patih Daha Gajah Mada untuk menemukan sendiri jawabnya. Nama pembunuh yang mati dipatuk ular itu tentu berada di barisan yang tersisa dari nama-nama prajurit Bhayangkara yang pernah dipimpinnya. Nama-nama itu adalah Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Gajah Enggon, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Panji Saprang yang berkhianat dan menjadi kaki tangan Rakrian Kuti mati dibunuh Gajah Mada di terowongan bawah tanah ketika pontang-panting menyelamatkan Sri Jayanegara. Bhayangkara Risang Panjer Lawang gugur di Mojoagung, dibunuh dengan cara licik oleh pengkhianat kaki tangan Ra Kuti. Selanjutnya, Mahisa Kingkin terbunuh oleh Gagak Bongol sebagai korban fitnah di Hangawiyat. Terakhir, Singa Parepen atau Bango Lumayang yang berkhianat mati dibunuhnya di Bedander ketika kamanungsan sebagai pengkhianat.
(Sumber: Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi, halaman 109-111).
Setelah membaca kutipan novel tersebut, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
1. Kapankah latar waktu cerita dalam kutipan novel sejarah di atas dibuat?
Jawab:
Latar waktu cerita dalam kutipan novel "Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara" tidak secara eksplisit disebutkan dalam kutipan tersebut. Namun, dengan referensi tokoh dan peristiwa sejarah yang disebutkan, serta lokasi cerita yang berpusat di Kerajaan Majapahit, dapat disimpulkan bahwa latar waktu cerita ini berada pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 hingga ke-15 Masehi.
Sejarah Kerajaan Majapahit mencakup periode dari awal pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) pada tahun 1293 hingga akhir pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1389. Pada masa ini, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di wilayah Nusantara.
Meskipun kutipan tersebut tidak memberikan tanggal atau periode waktu yang spesifik, namun dengan referensi pada tokoh-tokoh sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kerajaan Majapahit, latar waktu cerita dapat diasumsikan berada pada masa tersebut, yaitu sekitar abad ke-13 hingga ke-15 Masehi.
2. Di manakah latar dalam kutipan novel sejarah tersebut dibuat?
Jawab:
Dalam kutipan novel "Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara" karya Langit Kresna Hariadi yang telah diberikan sebelumnya, latar tempat cerita dibuat di Kerajaan Majapahit. Beberapa tempat yang disebutkan dalam kutipan tersebut adalah:
(1)Kerajaan Majapahit: Merupakan pusat cerita dan tempat di mana sebagian besar peristiwa terjadi. Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan bersejarah yang berlokasi di Pulau Jawa, Indonesia, pada abad ke-13 hingga ke-15.
(2)Mojoagung: Merupakan tempat di mana salah satu pembunuh ditemukan mati karena dipatuk ular dan dicabik-cabik anjing. Mojoagung adalah sebuah kota di Jawa Timur, Indonesia.
(3) Bedander: Tempat di mana salah satu prajurit Bhayangkara yang berkhianat dan menjadi pembunuh akhirnya mati karena tindakannya. Lokasi Bedander dalam konteks sejarah tidak secara jelas diidentifikasi, namun dapat dikaitkan dengan wilayah Majapahit.
Kerajaan Majapahit dan beberapa tempat di dalamnya adalah latar tempat di mana peristiwa-peristiwa dalam cerita tersebut berlangsung. Latar ini mengacu pada periode sejarah Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Sri Jayanegara.
3. Peristiwa apa sajakah yang dikisahkan?
Jawab:
Dari kutipan novel "Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara" karya Langit Kresna Hariadi yang telah diberikan sebelumnya, beberapa peristiwa yang dikisahkan dalam cerita antara lain:
(1) Kabut Tebal dan Bidadari: Kabut tebal yang disebabkan oleh para bidadari turun dari kayangan melalui pelangi. Kabut ini membuat wajah cantik para bidadari tersembunyi agar tidak dipergoki manusia. Namun, Gajah Mada meragukan kebenaran cerita tersebut dan menganggapnya sebagai dongeng.
(2)Calon Arang dan Kabut Tebal: Peristiwa di mana penyihir bernama Calon Arang marah dan menyebabkan kabut tebal dengan menebar tenung. Kabut ini menyebabkan penyakit menyebar di seluruh negara, dan Prabu Airlangga dan Patih Narottama meminta bantuan Empu Barada untuk mengatasi masalah tersebut.
(3)Temuan Mayat: Gajah Mada menerima laporan tentang temuan dua mayat prajurit. Mayat pertama adalah Klabang Gendis, yang tewas akibat ditusuk anak panah tepat di tenggorokannya. Mayat kedua adalah seorang pembunuh yang tewas karena dipatuk ular dan dicabik-cabik oleh anjing.
(4) Investigasi dan Penyelidikan: Gajah Mada, Gagak Bongol, dan Gajah Enggon melakukan penyelidikan untuk mencari tahu siapa pembunuh-pembunuh tersebut. Mereka mencurigai prajurit Bhayangkara karena keahlian anak panah dan kecakapan khususnya.
(5)Penyebutan Nama-nama Prajurit Bhayangkara: Dalam kutipan tersebut disebutkan beberapa nama prajurit Bhayangkara, yaitu Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Mereka adalah prajurit yang pernah dipimpin oleh Gajah Mada dan beberapa di antaranya telah terlibat dalam kasus pembunuhan.
Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa cerita "Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara" menyoroti peristiwa kehidupan Gajah Mada, investigasi atas pembunuhan, dan konflik di lingkungan kerajaan Majapahit.
4. Siapa sajakah tokoh yang terlibat dalam penceritaan?
Jawab:
Dari kutipan novel "Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara" karya Langit Kresna Hariadi, berikut adalah beberapa tokoh yang terlibat dalam penceritaan:
(1)Gajah Mada: Merupakan tokoh utama dan pahlawan dalam cerita. Dia adalah Patih Daha di Kerajaan Majapahit, yang dikenal karena ambisinya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.
(2) Gajah Enggon dan Gagak Bongol: Merupakan dua senopati di bawah pimpinan Gajah Mada yang membantu dalam investigasi pembunuhan yang terjadi di dalam cerita.
(3)Patih Daha: Sebutan lain untuk Gajah Mada, yang menandakan bahwa dia adalah pejabat tinggi di Kerajaan Majapahit.
(4)Bhayangkara: Merupakan kelompok pasukan elit di Kerajaan Majapahit yang dilatih untuk keahlian khusus seperti memanah.
(5) Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Macan Liwung, dan Gagak Bongol: Nama-nama prajurit Bhayangkara yang pernah dipimpin oleh Gajah Mada dan terlibat dalam investigasi pembunuhan.
(6) Panji Saprang dan Bhayangkara Risang Panjer Lawang: Dua prajurit Bhayangkara yang telah berkhianat dan akhirnya mati karena perbuatan mereka.
(7) Mahisa Kingkin: Prajurit Bhayangkara lainnya yang juga akhirnya terbunuh karena fitnah.
(8) Singa Parepen atau Bango Lumayang: Prajurit Bhayangkara yang berkhianat dan akhirnya mati karena perbuatannya.
Dari kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa novel ini menggambarkan konflik, pengkhianatan, dan investigasi yang melibatkan Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara di Kerajaan Majapahit.
5. Di bagian apa sajakah yang menandakan bahwa novel tersebut tergolong ke dalam novel sejarah?
Jawab:
Dari kutipan novel "Gajah Mada Bergelut dalam Takhta dan Angkara" karya Langit Kresna Hariadi yang telah diberikan sebelumnya, tidak terdapat indikasi atau penanda eksplisit yang secara jelas menyebutkan bahwa novel tersebut tergolong sebagai "novel sejarah." Namun, ada beberapa elemen yang menunjukkan bahwa cerita ini memiliki latar sejarah dan mengandung referensi dari masa lalu:
(1)Penggunaan nama-nama tokoh bersejarah: Dalam kutipan tersebut, terdapat penampilan beberapa tokoh bersejarah, seperti Gajah Mada, Sri Jayanegara, dan Bhayangkara Lembu Pulung, yang merupakan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Kerajaan Majapahit.
(2)Latar tempat bersejarah: Tempat-tempat yang disebutkan dalam cerita, seperti Kerajaan Majapahit, Mojoagung, dan Bedander, merujuk pada lokasi-lokasi yang bersejarah dan terkait dengan masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
(3)Referensi pada peristiwa sejarah: Novel ini mencantumkan beberapa peristiwa bersejarah, seperti pengkhianatan dan pembunuhan yang terjadi di dalam istana Kerajaan Majapahit.
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan sebagai "novel sejarah," namun dengan adanya referensi pada tokoh-tokoh bersejarah, latar tempat bersejarah, dan peristiwa bersejarah, novel ini kemungkinan besar termasuk ke dalam genre "novel sejarah" atau "novel berlatar sejarah." Hal ini menandakan bahwa cerita menggunakan latar belakang sejarah
dan mungkin menggabungkan unsur-unsur fiksi dengan fakta sejarah untuk menciptakan cerita naratif yang menarik.