Apakah teks editorial itu?
para pelajar Indonesia, sebelum kita memahami teks editorial, mari kita cermati teks berikut ini.
Pendidikan vs Kapitalisme
Ribut-ribut seputar dunia pendidikan tak sekadar dihiasi mahalnya ongkos untuk jadi orang pintar, tapi juga diwarnai oleh pertarungan idealisme melawan arus kapitalisme.Tengok
saja soal Bogor Agribusiness Center di Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).Tukar guling
SLTP 56 di “daerah emas” Melawai Jakarta Selatan. Dan, niat sebuah yayasan menjual sekolah
miliknya di Kota Bandung.
Suka atau tak suka, disadari atau tidak, arus kapitalisme telah merasuk ke dalam urat nadi kehidupan manusia Indonesia. Jadi, tak usah heran jika geliat hal yang sama masuk ke berbagai aspek, termasuk menyentuh kegiatan pendidikan. Mulai dari kewajiban murid membeli buku yang diwajibkan, jalur khusus penerimaan mahasiswa lewat uang pangkal yang besar, hingga
Malang Town Square di area kampus Universitas Brawijaya Malang.
Inti dasar paham kapitalisme adalah pergerakan modal. Kapitalisme mengajarkan pada kita perihal nilai berlebih, yang harus dihasilkan oleh suatu jumlah kapital tertentu dalam rentang waktu secepat mungkin. Kapital hanya bicara soal untung dan uang yang berkuasa atas segalanya. Nilai-nilai lain, terkadang harus menyisih. Tapi, harus diakui kapitalisme adalah sistem yang sudah mendunia.
Lalu, di mana idealisme pendidikan?Apa arti pendidikan adalah hak semua warga negara (baik yang punya akses terhadap kapital maupun tidak)? Jeritannya sepi, senyap seolah tertelan kedalaman laut. Seperti lingkungan yang tak bisa menahan kuatnya cengkeraman kapital, maka dunia pendidikan juga harus mulai siap-siap terpinggirkan.Tak ada yang peduli lagi terhadap teriakan soal filosofi pendidikan.
Apa mau dikata, pendidikan sendiri kini sudah merupakan bagian dari dunia kapital itu sendiri. Sifat ingin memperoleh nilai berlebih sudah tertanam. Semakin seseorang siap berinvestasi dengan kapital yang dimilikinya, maka dipastikan dirinya akan menciptakan nilai berlebih dari dunia pendidikan di masa yang akan datang. Bagi yang enggan menanam kapital, jangan bermimpi mendapat nilai berlebih.
Fenomena semacam ini yang akan terus mewarnai dunia pendidikan di sini. Perlu perjuangan ekstra keras untuk melawan arus besar ini. Bahkan pemerintah, dengan UU di pundaknya, seakan tak mampu mencegah. Sebaliknya dengan dalih keterbatasan dana, seolah-olah melakukan pembenaran terhadap arus modal yang tak peduli sisi lain, kecuali demi kepentingan modal itu sendiri. Bahkan, mungkin juga ikut menikmati iklim kapitalisme yang merambah dunia pendidikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana menyikapi kondisi yang ada, yang sudah menjalar ke segala sisi kehidupan? Kompromi, mungkin itulah salah satu cara untuk saat ini. Mencoba berdamai dengan kapitalisme, karena kapitalisme adalah kenyataan objektif sekarang ini. Menentang gelombang yang superkuat itu perlu persiapan dan langkah antisipatif yang pas.
Namun, berkompromi bukan berarti melupakan nilai-nilai lain yang lebih dalam, dari sekadar bicara modal: moral, etika atau lainnya, yang sering terlibas oleh kekuatan kapital. Keterpakuan terhadap kapital, selama ini menjadi penyebab keterlenaan yang panjang dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Ini yang harus jadi perhatian kita semua. (Sumber:Pikiran Rakyat)
Teks berjudul “Pendidikan vs Kapitalisme” merupakan contoh editorial. Adapun yang dimaksud dengan editorial itu sendiri adalah kolom khusus dalam surat kabar yang berisikan tanggapan redaksi dari media yang bersangkutan terhadap satu peristiwa aktual. Tanggapan tersebut bisa berupa dukungan, pujian, kritikan, bahkan cemoohan. Tajuk rencana dapat pula diartikan sebagai artikel pokok dalam surat kabar yang merupakan pandangan redaksi terhadap peristiwa yang sedang menjadi pembicaraan pada saat surat kabar itu diterbitkan.
Dalam editorial atau tajuk rencana biasanya diungkapkan adanya informasi atau masalah aktual, penegasan pentingnya masalah, opini redaksi tentang masalah tersebut, kritik dan saran atas permasalahan, dan harapan redaksi akan peran serta pembaca. Berbeda dengan kolom-kolom lainnya yang berisikan fakta-fakta, tajuk lebih banyak mengemukakan pendapat-pendapat. Tentu saja pendapat-pendapat itu berdasarkan analisis terhadap peristiwa atau fakta yang terjadi, yang menjadi sorotan penting media itu.
Pendapat media yang satu dengan yang lainnya tentang suatu peristiwa dapat berbeda- beda. Hal ini bergantung pada visi dan misi masing-masing media. Visi dan misinya itulah yang menjadi sudut pandang media tersebut terhadap berbagai peristiwa yang disorotnya. Media yang mempunyai visi kedaerahan akan berbeda sudut pandangnya dengan media yang bervisi nasional. Demikian halnya, media yang memiliki misi kesehatan akan berbeda analisisnya dengan media yang bermisi hukum.
Karena sifatnya yang “subjektif” itu, tentu saja kita pun bisa berbeda pandangan dengan media itu. Kita tidak perlu dengan begitu saja menerima pendapat-pendapat media itu. Kita pun boleh perpendapat lain dan memang sudah merupakan kewajiban kita untuk selalu bersikap kritis terhadap berbagai pandangan dan pendapat yang dikemukakan oleh suatu media. Kita tidak boleh dengan begitu saja membenarkan setiap pendapat yang dikemukakan. Kita tentunya memiliki pendapat sendiri yang bisa sama atau berbeda dengan pendapat dari media itu. Namun demikian, sikap kritis kita itu tentu saja harus pula berdasarkan fakta dan argumen yang jelas dan meyakinkan.
Perhatikan kembali cara penyajian teks di atas. Walaupun disajikan dalam media massa, tajuk berbeda dengan berita. Tajuk mengemukakan tanggapan redaktur dari media yang bersangkutan berkenaan dengan peristiwa, kejadian, atau persoalan aktual. Biasanya tajuk berisikan pesan, sikap, kritikan, ulasan, sambutan.
Tajuk berjudul “Pendidikan vs Kapitalisme” merupakan tanggapan terhadap permasalahan yang terjadi dalam fenomena kapitalisme pendidikan di Indonesia. Media yang bersangkutan mengungkapkan penyesalan dan kritikan terhadap fenomena tersebut. Perhatikan, misalnya, kalimat berikut.
No comments:
Post a Comment