Wednesday, 13 January 2016

Membandingkan Teks Opini

Membandingkan teks adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan persamaan dan perbedaan atas suatu teks. Membandingkan dua teks opini dapat diartikan sebagai usaha menemukan persamaan dan perbedaan atas kedua teks berdasarkan data-data yang ada dalam teks. Persamaan dan perbedaan teks tersebut dapat dilihat dari segi struktur teks, isi teks. Perbandingan struktur teks merujuk pada persamaan dan perbedaan penyajian isi struktur dalam dua buah teks yang dibandingkan. Perbandingan tersebut bertujuan untuk menelaah kelengkapan struktur. Perbandingan isi teks merujuk pada kegiatan membandingkan persamaan dan perbedaan dalam pengolahan unsur kebahasaan kedua teks.

Struktur teks itu merupakan gambaran cara teks itu dibangun. Kalian dapat Teks opini disusun dengan struktur pernyataan pendapat, diikuti oleh argumentasi, dan ditutup oleh pernyataan ulang pendapat. Struktur teks ini dapat dituliskan seperti berikut: pernyataan pendapat^argumentasi^pernyataan ulang pendapat (thesis statement^arguments^ reiteration). Pernyataan pendapat (thesis statement). Pernyataan pendapat berisikan topik tentang sebuah permasalahan yang akan dibahas. Argumentasi merupakan pendukung yang akan memperkuat opini yang hendak disampaikan.  Pernyataan ulang pendapat (reiteration) merupakan bagaian akhir teks opini yang berisi penegasan kembali pendapat yang telah dikemukakan agar pembaca atau pendengar semakin yakin dengan pandangan kalian tersebut. Perhatikan struktur kedua teks di bawah ini
Menjual Sembari Menjaga Nirwana
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatIndonesia adalah surga sekaligus kisah nyata, bukan isapan jempol belaka atau romantisme dari masa lalu. Ada begitu banyak tempat indah yang tersembunyi dan masih belum tersentuh. Sayangnya, tempat-tempat itu belum digarap serius sebagai tujuan wisata. Jangankan membuat program wisata yang kreatif, membangun prasarananya saja kerap tidak dilakukan pemerintah.
2.ArgumentasiDalam beberapa tahun terakhir, bahkan keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah. Padahal, dengan pariwisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya.

Di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, ironi itu terpampang nyata. Kepulauan itu memiliki pantai-pantai indah, laut yang bening dan tenang, serta ikan berwarna-warni yang menyelinap di antara terumbu karang indah. Menjelang senja, matahari menjadi bola merah yang ditelan laut jingga. Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus. Mereka datang hanya pada saat kampanye untuk memancing suara, bahkan mempersilakan para nelayan mengeb*m terumbu karang. Keinginan pemerintah pusat menjadikannya sebagai taman nasional ditentang justru oleh pemerintah daerah.

Di Mentawai, Sumatera Barat, lain lagi yang terjadi. Kepulauan ini memiliki ombak terbaik untuk berselancar. Di dunia ini hanya ada tiga tempat yang memiliki barrel-ombak berbentuk terowongan-yang dapat ditemui sepanjang waktu: Hawaii, Haiti, dan Mentawai. Namun, pemerintah daerah seolah-olah tidak berdaya di sana. Resor tumbuh menjamur, tetapi kontribusi mereka kepada ekonomi daerah amat minimal. Mungkin ini merupakan bentuk “protes” mereka kepada pemerintah daerah yang tidak serius membangun prasarana wisata di sana.

Dengan ribuan “surga yang tersembunyi” itu, pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang datang ke negeri ini. Tahun lalu, menurut catatan Badan Pusat Statistik, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia. Jangankan dibandingkan dengan Prancis yang mampu mendatangkan 83 juta turis tahun lalu, jumlah wisatawan asing ke Indonesia masih jauh dari Malaysia, yang menurut United Nations World Tourism Organization kedatangan 25 juta pelancong pada 2012. Ini menempatkan Malaysia pada peringkat ke-10 negara dengan jumlah wisatawan asing terbanyak.

Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia adalah ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki. Pemerintah pusat ataupun daerah masih lebih senang mendapatkan uang dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Mereka lebih suka membabat hutan untuk mengambil kayunya, menggali buminya untuk mengeduk mineral di dalamnya, atau menggantikan pepohonan hutan dengan kelapa sawit. Pariwisata dianggap tidak terlalu menguntungkan-terutama untuk pejabat yang korup. Tidak ada resor atau pengelola wisata yang bisa membayar setoran ke pejabat korup sebesar yang disetor pejabat hutan atau pemilik tambang.

Kesadaran menjaga alam dan mengembangkan potensi wisata justru datang dari operator wisata. Di Togean, seorang pemilik resor harus membayar nelayan secara berkala agar mereka tidak memburu ikan dengan b*m. Ia berupaya menyadarkan masyarakat tentang arti penting keindahan alam di halaman rumah mereka. Di Hulu Bahau, Kalimantan Utara, seorang ketua adat besar berhasil menyadarkan masyarakat untuk menjaga hutan. Bersama lembaga seperti WWF, masyarakat di sana mengembangkan wisata sungai dan rimba.

Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini agar lebih menarik. Singapura, misalnya, pulau kecil yang penuh beton itu mampu membuat banyak atraksi wisata-meski sebagian besar artifisial dan terlihat lebih indah di iklan-yang mampu menarik 15 juta wisatawan asing. Hampir dua kali lipat dari yang ke Indonesia.

Selama ini pemerintah hanya menjual Bali dan Bali, atau-kalau mau dikatakan agak berpandangan luas sedikit-bergesernya pun paling-paling hanya ke Yogyakarta dan Danau Toba. Padahal tempat-tempat itu tidak perlu “dijual” lagi dan sebaiknya dibiarkan jalan sendiri. Berapa banyak peminat wisata yang tahu, misalnya, bahwa Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, di pertemuan antara Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan arus surut Sungai Kampar, terdapat “bono”, tidal bore yang dirindukan para selancar sungai, dan diakui sebagai yang terbaik di dunia.
3.Pernyataan Ulang PendapatIndonesia memang surga sekaligus kisah nyata. Di tangan para pemangku kepentingan terletak tanggung jawab merayakannya.
(Sumber: Tempo, 18—24 November 2013)

Tentang Baik dan Benar oleh: Agus Sri Danardana
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatTak dapat dimungkiri bahwa dalam berbahasa (Indonesia), ukuran baik dan benar masih sering menjadi perbalahan. Sekalipun mudah didefinisikan, ukuran baik dan benar itu acap kali bias dalam implementasinya. Mungkin karena secara terminologis kata baik dan benar itu sudah menyaran pada hal yang sempurna, tanpa cacat sehingga orang pun tidak segan-segan memaknai slogan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu sama dengan bahasa Indonesia baku. Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu karena merasa telah dibelenggunya. Menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar sama dengan bahasa Indonesia baku adalah sebuah kekeliruan. Bahasa Indonesia baku sesungguhnya hanyalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang secara kebijakan (policy) ditetapkan sebagai acuan penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada.
2.ArgumentasiSecara sederhana, bahasa yang baik dan benar dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa. Karena ditentukan oleh banyak hal (seperti tempat, topik, dan tujuan pembicaraan serta kawan/lawan bicara), yang dapat memunculkan banyak ragam bahasa, ukuran bahasa yang baik (sesuai dengan situasi pemakaian bahasa) sering dipahami secara salah oleh banyak orang. Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja. Hal itu diperparah lagi oleh rendahnya penguasaan kaidah bahasa (Indonesia) mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat (Indonesia) gemar melanggar aturan, tak terkecuali aturan bahasa yang meliputi tata bunyi/lafal, tatatulis/ejaan, tatakata, tatakalimat, dan tatamakna itu..

Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam. Mereka tidak (mau) menyadari bahwa bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, identik dengan keanekaragaman masyarakat penggunanya. Pada umumnya, karena tidak memiliki kesadaran itu, mereka hanya menguasai satu ragam bahasa sehingga di mana pun dan kapan pun selalu menggunakan ragam bahasa yang dikuasainya itu. Ibarat berpakaian, di mana pun dan kapan pun mereka selalu memakai pakaian yang sama.

Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku saat tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga saat ronda. Dalam situasi tidak resmi seperti itu, bentuk-bentuk tidak baku, seperti duit alih-alih uang; awak/aku/ane/gue alih-alih saya; dan biarin alih-alih biarkan, justru layak digunakan. Bayangkan, betapa lucu dan aneh jika dalam tawarmenawar terjadi dialog seperti berikut ini.
“Bang, berapakah harga satu kilo daging ini?”
“Satu kilo daging ini saya jual Rp100.000,00, Bu.”
“Apakah tidak boleh ditawar, Bang.”
“Boleh, boleh. Berapa Ibu menawar?”
“ Rp90.000,00 saja ya, Bang.”

Pun sebaliknya, sangatlah tidak pantas jika ada orang menggunakan bentuk-bentuk tidak baku itu dalam sebuah seminar, dengan teman akrabnya sekalipun.

Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi. Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang. Konon, setiap jengkal ruang (karakter) di surat kabar bernilai bisnis. Oleh karena itu, permakluman yang sama seharusnya tidak diberikan kepada penyiar yang membacakan tulisan itu untuk pendengar/pemirsanya. Mengapa? Karena penyiar tidak terikat oleh ruang. Kalaupun penyiar terikat oleh waktu, sesungguhnya ia tetap memiliki kebebasan untuk menyiasatinya: dengan mempercepat tempo, misalnya.

Bagaimana dengan bahasa iklan dan sastra? Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap dapat diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu. “Keanehan” berbahasa dalam iklan dan sastra (kalau memang ada) harus dipandang sebagai kreativitas berbahasa pembuat/pengarang selama tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku. Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi. Akan tetapi, bagaimana dengan iklan yang berbunyi: …melindungi dari kuman? Sebagai contoh yang baikkah bunyi iklan itu? Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen. Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh setelah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan dapat lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen karena bunyi iklannya memang tidak menjanjikan dapat melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen.

Keanehan berbahasa, karena sudah berlangsung lama dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan. Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seolah-olah sudah menjadi baku dan dianggap benar. Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua yang sedang berdialog, baik dalam surat maupun pidato.
3.Pernyataan Ulang PendapatBegitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat memperlancar komunikasi, tetapi juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.
(Sumber: Agus Sri Danardana [Ed.], Paradoks: Kumpulan Tulisan Alinea di Riau Pos 2013, Pekanbaru: Palagan Press, 2013, halaman 1—4)

Bagaimanakah berbahasa yang baik dan benar itu? Berbahasa yang baik dan benar menurut saya adalah menggunakan bahasa sesuai dengan situasi pemakaiannya (resmi atau tidak resmi) dan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa. 
opini
Teks opini berisi gagasan pribadi atau usulan mengenai sesuatu. Pada teks “Tentang Baik dan Benar”, gagasan apa yang hendak diungkapkan penulis? Penulis ingin menyampaikan tentang berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Baca dan cermati kembai teks tersebut. Argumentasi apa saja yang diutarakan penulis untuk mendukung gagasannya?
  1. Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja.
  2. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.
  3. Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku saat tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga saat ronda. 
  4. Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi.
  5. Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap dapat diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu.
  6. Keanehan berbahasa, karena sudah berlangsung lama dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan. 
Teks opini memuat argumentasi satu sisi, dan jumlah argumentasi tidak ditentukan. Selain merupakan milik pencipta teks, argumentasi dapat dikembangkan dari pendapat umum yang diambil dari sumber lain, sepanjang sumber itu disebutkan sebagai referensi. Beberapa argumentasi yang dikembangkan dari pendapat lain adalah sebagai berikut.
No.ArgumentasiReferensi
1.Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja.Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat (Indonesia) gemar melanggar aturan, tak terkecuali aturan bahasa yang meliputi tata bunyi/lafal, tatatulis/ejaan, tatakata, tatakalimat, dan tatamakna itu.
2.Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.Mereka tidak (mau) menyadari bahwa bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, identik dengan keanekaragaman masyarakat penggunanya.
3.Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku saat tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga saat ronda.Dalam situasi tidak resmi seperti itu, bentuk-bentuk tidak baku, seperti duit alih-alih uang; awak/aku/ane/gue alih-alih saya; dan biarin alih-alih biarkan, justru layak digunakan
4.Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi.Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang.
5.Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap dapat diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu.“Keanehan” berbahasa dalam iklan dan sastra (kalau memang ada) harus dipandang sebagai kreativitas berbahasa pembuat/pengarang selama tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku.
6.Keanehan berbahasa, karena sudah berlangsung lama dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan.Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seolah-olah sudah menjadi baku dan dianggap benar.

Terdapat dua macam teks opini, yaitu opini analitis dan opini hortatoris. Opini analitis berkenaan dengan konsep atau teori tentang sesuatu, sedangkan opini hortatoris berkenaan dengan tindakan yang perlu dilakukan atau kebijakan yang perlu dibuat. Bandingkanlah  teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” dan “Tentang Baik dan Benar” teks tersebut termasuk teks opini analitis atau hortatoris?
  1. Teks "Menjual Sembari Menjaga Nirwana" merupakan opini hotatoris karena teks tersebut berhubungan dengan tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian alam di Indonesia.
  2. Teks "Tentang Baik dan Benar" merupakan opini analitis karena teks tersebut berhubungan dengan konsep berbahasa Indonesia yanga baik dan benar.

Teks opini mencakup penggunaan verba material, relasional, dan mental sekaligus. Verba relasional adalah verba yang menunjukkan hubungan intensitas (yang mengandung pengertian A adalah B), sirkumstansi (yang mengandung pengertian A pada/di dalam B), dan milik (yang mengandung pengertian A mempunyai B). Verba yang pertama tergolong ke dalam verba relasional identifikatif, sedangkan verba yang kedua dan ketiga tergolong ke dalam verba relasional atributif. Pada verba relasional identifikatif terdapat partisipan token (token) atau teridentifikasi (identified) dan nilai (value) atau pengidentifikasi (identifier). Misal: Ayah (token) adalah (verba relasional identifikasi) pelindung keluarga (nilai). Pada verba relasional atributif terdapat partisipan penyandang (carrier) dan sandangan (attribute). Misal: Ayah (penyandang) mempunyai (verba relasional atributif) mobil baru (sandangan).

Verba mental, pada umumnya digunakan untuk mengajukan klaim. Verba ini menerangkan persepsi (misalnya: melihat, merasa), afeksi (misalnya: suka, khawatir), dan kognisi (misalnya: berpikir, mengerti). Pada verba mental ini terdapat partisipan pengindera (senser) dan fenomena. Contohnya dalam klausa: Saya mempercayai bahwa..., Menurut saya..., Saya berpendapat.... Contoh lain dalam kalimat: Ayah (pengindera) mendengar (verba mental) kabar itu (fenomena).

 Beberapa contoh verba yang terdapat dalam teks "Tentang Baik dan Benar" adalah sebagai berikut.
No.KalimatVerbaJenis Verba
1.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. MerasaVerba Mental
2.Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu karena merasa telah dibelenggunya.MerasaVerba Mental
3.Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat memperlancar komunikasi, tetapi juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.BerpikirVerba Mental
4.Menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar sama dengan bahasa Indonesia baku adalah sebuah kekeliruan.AdalahVerba Relasional
Identifikatif
5.Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa.AdalahVerba relasional Identitikatif
5.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. MemilikiVerba Relasional Atributif
6.Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang.MemilikiVerba Relasional Atributif
7.Karena penyiar tidak terikat oleh ruang. Kalaupun penyiar terikat oleh waktu, sesungguhnya ia tetap memiliki kebebasan untuk menyiasatinya: dengan mempercepat tempo, misalnya.MemilikiVerba Relasional Atributif
8.Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.MemilikiVerba Relasional Atributif
9.Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi.AdalahVerba Relasional
Identifikatif
10.Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.MenganggapVerba Mental

Konjungsi
Konjungsi yang banyak dijumpai pada teks opini adalah konjungsi yang digunakan untuk menata argumentasi, seperti pertama, kedua, berikutnya, dan sebagainya; atau konjungsi yang digunakan untuk memperkuat argumentasi, seperti bahkan, juga, selain itu, lagi pula, sebagai contoh, misalnya, padahal, justru dan lain-lain; atau konjungsi yang menyatakan hubungan sebab akibat, seperti sejak, sebelumnya, dan sebagainya; konjungsi yang menyatakan harapan, seperti agar, supaya, dan sebagainya.
No.KalimatKonjungsiFungsi Konjungsi
1.Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu karena merasa telah dibelenggunya. BahkanUntuk memperkuat argumentasi
2.Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh setelah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan dapat lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen karena bunyi iklannya memang tidak menjanjikan dapat melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen.BahkanUntuk menyatakan harapan
3.Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen.JugaUntuk memperkuat argumentasi
4.Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat memperlancar komunikasi, tetapi juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.JugaUntuk memperkuat argumentasi
5.Sebagai contoh yang baikkah bunyi iklan itu? Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen.Sebagai contohUntuk memperkuat argumentasi
5.Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus.JugaUntuk memperkuat argumentasi
6.Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja.MisalnyaUntuk memperkuat argumentasi
7.Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang.MisalnyaUntuk memperkuat argumentasi
8.Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seolah-olah sudah menjadi baku dan dianggap benar.MisalnyaUntuk memperkuat argumentasi
9.Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada.PadahalUntuk memperkuat argumentasi
10.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan keduaPadahalUntuk memperkuat argumentasi

Modalitas
Teks opini/editorial mengandung modalitas untuk membangun opini yang mengarah kepada saran atau anjuran. Modalitas merupakan cara seseorang menyatakan sikap dalam sebuah komunikasi. Beberapa bentuk modalitas antara lain: memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukan, bukannya, dan sebagainya (untuk menyatakan kepastian); iya, benar, betul, sebenarnya, malahan, dan sebagainya (untuk menyatakan pengakuan); agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, sebagainya (untuk menyatakan kesangsian); semoga, mudah-mudahan, dan sebagainya (untuk menyatakan keinginan); baik, mari, hendaknya, kiranya, dan sebagainya (untuk menyatakan ajakan); jangan (untuk menyatakan larangan); serta mustahil, tidak masuk akal, dan sebagainya (untuk menyatakan keheranan).
No.Kalimat dalam TeksModalitasFungsi Modalitas
1.Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada.MemangUntuk menyatakan kepastian
2.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan keduaPastiUntuk menyatakan kepastian
3.Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen. TentuUntuk menyatakan kepastian
4.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. TidakUntuk menyatakan kepastian
5.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan keduaBukanUntuk menyatakan kepastian
5.Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi.MungkinUntuk menyatakan kesangsian
6.Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi.MungkinUntuk menyatakan kesangsian
7.Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.RupanyaUntuk menyatakan kesangsian
8.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua yang sedang berdialog, baik dalam surat maupun pidato.BaikUntuk menyatakan ajakan
9.Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh setelah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan dapat lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen karena bunyi iklannya memang tidak menjanjikan dapat melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen.MemangUntuk menyatakan kepastian
10.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. TidakUntuk menyatakan kepastian

Teks opini memuat pendapat atau pandangan penulis yang biasanya diterbitkan pada media cetak. Dalam sebuah teks opini terkandung subjektivitas, tidak hanya fakta belaka. Dalam sebuah media cetak, artikel opini, surat pembaca, dan tajuk rencana merupakan jenis teks opini. Artikel opini dan surat pembaca merupakan pendapat pembaca terhadap suatu masalah, peristiwa, atau kejadian tertentu. Sedangkan tajuk rencana, atau dikenal juga dengan istilah editorial merupakan opini atau pendapat redaksi media cetak tersebut terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap media yang bersangkutan. Berbeda dengan artikel opini yang ditulis pembaca, sebuah tajuk rencana tidak mencantumkan nama penulisnya karena merupakan suara lembaga.
Perhatikan secara saksama teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” dan “Tentang Baik dan Benar”. Teks "Menjual Sembari Menjaga Nirwana" merupakan teks editorial karena tidak mencantumkan nama penulis (Sumber: Tempo, 18—24 November 2013). Sedangkan teks "Tentang Baik dan Benar" merupakan opini karena ditulis oleh: Agus Sri Danardana.

Menganalisis Teks Opini/Editorial

Analisis adalah kegiatan penyelidikan (meneliti/memeriksa) terhadap suatu teks, dan menganalisis merupakan kegiatan melakukan analisis. Di dalam menganalisis teks opini ada beberapa lagkah yang perlu diperhatikan yaitu struktur, isi, dan bahasa. Struktur teks opini terdiri dari pernyataan pendapat^argumentasi^pernyataan ulang pendapat. Dari segi isi teks opini/editorial menyikapi situasi yang berkembang dimasyarakat luas baik itu aspek sosial, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan tergantung tujuan dari penulis. Dari segi bahasa teks opini/editorial menggunakan unsur kebahasaan seperti adverbia, konjungsi, verba, dan kosakata.

Pada bagian ini Anda diajak untuk menganalisis fungsi sosial teks opini/editorial. Fungsi sosial teks opini/editorial tajuk biasanya menjelaskan berita artinya, dan akibatnya pada masyarakat. Teks opini juga mengisi latar belakang dari kaitan berita tersebut dengan kenyataan sosial dan faktor yang mempengaruhi dengan lebih menyeluruh. Dalam teks opini/editorial terkadang juga ada ramalan atau analisis kondisi yang berfungsi untuk mempersiapkan masyarakat akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi serta meneruskan penilaian moral mengenai berita tersebut.

Silahkan memberikan pendapat atau memberikan penafsiran tentang teks tersebut. Tentunya dalam menganalisis teks opini tidak akan menenui kesulitan, karena teks ini sudahdijelaskan bagaimana struktur teks opini/editorial, bagaimana ciri kebahasaan yang kerap digunakan pada teks tersebut, serta informasi apa saja yang dibutuhkan untuk membangun sebuah teks opini/editorial. Oleh karena itu, bacalah kembali secara saksama teks berikut!
Menjual Sembari Menjaga Nirwana
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatIndonesia adalah surga sekaligus kisah nyata, bukan isapan jempol belaka atau romantisme dari masa lalu. Ada begitu banyak tempat indah yang tersembunyi dan masih belum tersentuh. Sayangnya, tempat-tempat itu belum digarap serius sebagai tujuan wisata. Jangankan membuat program wisata yang kreatif, membangun prasarananya saja kerap tidak dilakukan pemerintah.
2.ArgumentasiDalam beberapa tahun terakhir, bahkan keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah. Padahal, dengan pariwisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya.

Di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, ironi itu terpampang nyata. Kepulauan itu memiliki pantai-pantai indah, laut yang bening dan tenang, serta ikan berwarnawarni yang menyelinap di antara terumbu karang indah. Menjelang senja, matahari menjadi bola merah yang ditelan laut jingga. Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus. Mereka datang hanya pada saat kampanye untuk memancing suara, bahkan mempersilakan para nelayan mengebom terumbu karang. Keinginan pemerintah pusat menjadikannya sebagai taman nasional ditentang justru oleh pemerintah daerah.

Di Mentawai, Sumatera Barat, lain lagi yang terjadi. Kepulauan ini memiliki ombak terbaik untuk berselancar. Di dunia ini hanya ada tiga tempat yang memiliki barrel-ombak berbentuk terowongan-yang dapat ditemui sepanjang waktu: Hawaii, Haiti, dan Mentawai. Namun, pemerintah daerah seolah-olah tidak berdaya di sana. Resor tumbuh menjamur, tetapi kontribusi mereka kepada ekonomi daerah amat minimal. Mungkin ini merupakan bentuk “protes” mereka kepada pemerintah daerah yang tidak serius membangun prasarana wisata di sana.

Dengan ribuan “surga yang tersembunyi” itu, pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang datang ke negeri ini. Tahun lalu, menurut catatan Badan Pusat Statistik, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia. Jangankan dibandingkan dengan Prancis yang mampu mendatangkan 83 juta turis tahun lalu, jumlah wisatawan asing ke Indonesia masih jauh dari Malaysia, yang menurut United Nations World Tourism Organization kedatangan 25 juta pelancong pada 2012. Ini menempatkan Malaysia pada peringkat ke-10 negara dengan jumlah wisatawan asing terbanyak.

Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia adalah ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki. Pemerintah pusat ataupun daerah masih lebih senang mendapatkan uang dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Mereka lebih suka membabat hutan untuk mengambil kayunya, menggali buminya untuk mengeduk mineral di dalamnya, atau menggantikan pepohonan hutan dengan kelapa sawit. Pariwisata dianggap tidak terlalu menguntungkan-terutama untuk pejabat yang korup. Tidak ada resor atau pengelola wisata yang bisa membayar setoran ke pejabat korup sebesar yang disetor pejabat hutan atau pemilik tambang.

Kesadaran menjaga alam dan mengembangkan potensi wisata justru datang dari operator wisata. Di Togean, seorang pemilik resor harus membayar nelayan secara berkala agar mereka tidak memburu ikan dengan bom. Ia berupaya menyadarkan masyarakat tentang arti penting keindahan alam di halaman rumah mereka. Di Hulu Bahau, Kalimantan Utara, seorang ketua adat besar berhasil menyadarkan masyarakat untuk menjaga hutan. Bersama lembaga seperti WWF, masyarakat di sana mengembangkan wisata sungai dan rimba.

Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini agar lebih menarik. Singapura, misalnya, pulau kecil yang penuh beton itu mampu membuat banyak atraksi wisata-meski sebagian besar artifisial dan terlihat lebih indah di iklan-yang mampu menarik 15 juta wisatawan asing. Hampir dua kali lipat dari yang ke Indonesia.

Selama ini pemerintah hanya menjual Bali dan Bali, atau-kalau mau dikatakan agak berpandangan luas sedikit-bergesernya pun paling-paling hanya ke Yogyakarta dan Danau Toba. Padahal tempat-tempat itu tidak perlu “dijual” lagi dan sebaiknya dibiarkan jalan sendiri. Berapa banyak peminat wisata yang tahu, misalnya, bahwa Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, di pertemuan antara Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan arus surut Sungai Kampar, terdapat “bono”, tidal bore yang dirindukan para selancar sungai, dan diakui sebagai yang terbaik di dunia.
3.Pernyataan Ulang PendapatIndonesia memang surga sekaligus kisah nyata. Di tangan para pemangku kepentingan terletak tanggung jawab merayakannya.

Informasi yang diperoleh dari teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” antara lain sebagai berikut.
  1. Ternyata Indonesia memiliki banyak tempat indah.
  2. Tempat-tempat indah itu masih terbengkalai dan belum digarap.
  3. Pembangunan prasarananya kerap tidak dilakukan pemerintah.
  4. Keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah.
  5. Dengan pariwisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya.
  6. Di Mentawai, Sumatera Barat, kepulauan ini memiliki ombak terbaik untuk berselancar.
  7. Pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang datang ke negeri ini.
  8. Tahun lalu, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia.
  9. Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia adalah ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki.
  10. Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini agar lebih menarik.
  11. Selama ini pemerintah hanya menjual Bali, Yogyakarta dan Danau Toba. 

Dari teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana”, diketahui berbagai informasi tentang objek wisata yang masih tersembunyi di negeri tercinta ini. Saya sangat setuju dengan tulisan di atas. Meski Indonesia memiliki objek wisata dan budaya yang lebih beragam dibanding Malaysia, Thailand dan Brunei, peluang tersebut tidak bisa diambil begitu saja karena Indonesia belum memiliki dukungan regulasi yang kondusif, proteksi terhadap lingkungan, kebersihan, serta kepastian usaha dan dukungan infrastruktur yang masih terbatas. 

Salah satu unsur yang menentukan berkembangnya industri pariwisata adalah objek wisata. Semua hal yang menarik untuk dilihat dan dirasakan oleh wisatawan itulah yang disebut objek wisata atau tempat wisata. Tempat wisata ini dapat berupa objek wisata alam, seperti gunung, danau, sungai, pantai, ataupun laut, sedangkan objek wisata bangunan dapat berupa museum, benteng, situs peninggalan sejarah, dan sebagainya.
  1. Menurut kalian, apakah masih banyak tempat wisata yang memang belum terjamah, baik oleh pemerintah maupun penduduk setempat? Ada begitu banyak pesona alam, maupun buatan yang belum dikenal tapi sangat indah dan luar biasa menawan. Misalnya saja di Minahasa Selatan memiliki berbagai objek wisata yang seakan belum terjamah, ada air terjun, ada pantai yang luar biasa indah, ada hutan wisata, ada peninggalan-peninggalan bersejarah, dan masih banyak lagi lainnya.
  2. Coba kalian sebutkan tempat apa saja yang seharusnya bisa dijadikan objek wisata di daerah kalian, tetapi masih terabaikan dan belum dimanfaatkan. Misalnya Pantai Moinit yang berada di desa Teep Kecamatan Amurang Barat dan Desa Tawaang Kecamatan Tenga. Nah, pemandangan alamnya begitu menakjubkan, dan Anda juga bisa menemukan sebuah tempat permandian, dan ada air panas di perairan laut. Katanya mandi di sana dapat memuluskan kulit, dan menyehatkan badan.
  3. Menurut kalian, apa penyebab tempat di daerah kalian itu masih belum digarap atau dimanfaatkan (belum terjamah)? Hal ini disebabkan karena daerah belum memiliki dukungan regulasi yang kondusif, proteksi terhadap lingkungan, kebersihan, serta kepastian usaha dan dukungan infrastruktur yang masih terbatas. 
  4. Tempat wisata apa sajakah yang ada di daerah kalian? Beberapa obyek wisata seperti Batu Kapal di desa Sapa Tenga, kemudian ada Benteng Portugis di Uwuran Satu Amurang, Gereja Belanda yang dibangun pada tahun 1800-an, Batu Menhir di Lelema, Waruga kaneyan, dan Batu Tumotow di Tareran

Mengevaluasi Struktur Teks Opini/Editorial

Teks opini/editorial adalah teks yang berisi permasalahan yang bersifat aktual yang ditulis berdasarkan sudut pandang; opini atau pendapat dari penulis. Di dalam editorial terdapat fakta dan opini. Fakta adalah hal yang bersifat faktual yang diambil dari peristiwa atau kejadian meaupun berbagai gejala yang terjadi di masyarakat. Opini adalah argumen atau tanggapan redaksi terhadap peristiwa atau gejala yang dijadikan pokok pembicaraan dalam editorial yang disertai pula dengan harapan-harapan yang bertujuan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang dibahas.

Susunan teks opini/editorial dibuat semenarik mungkin dengan memberikan berbagai argumen, data-data yang menunjang pendapat dari penulis tentang masalah yang sedang dibahas. Data-data yang digunakan itu bertujuan untuk mempengaruhi atau mengubah persepsi pembaca atau pendengar untuk mengikuti atau menerima pendapat penulis teks tersebut.

Pada kegiatan ini Anda diminta untuk dapat mengajukan argumentasi bahwa sesuatu itu benar adanya atau sesuatu yang diusulkan itu harus dilakukan. Hal ini sesuai dengan fungsi sosial teks opini. Dengan merekonstruksi nilai-nilai dan tujuan sosial yang menerapkan kelaziman kebahasaan, serta mengikuti tahapan struktur teks yang telah ditetapkan, diharapkan secara bersama bisa membangun sebuah teks opini/editorial.

Struktur Teks
Setiap teks memiliki struktur yang berbeda. Struktur teks tersebut berfungsi untuk membentuk struktur berpikir seseorang sehingga setiap penguasaan jenis teks tertentu maka seseorang akan memiliki kemampuan berpikir sesuai dengan struktur teks yang telah dikuasainya. Dengan berbagai macam jenis teks yang dikuasai maka seseorang akan menguasai pula berbagai struktur berpikir. Struktur berpikir akan berimbas pada bagaimana seseorang dapat menyampaikan pesan, pikiran, gagasan, pendapat, atau idenya kepada orang lain. Perhatikan struktur teks berikut ini.
Sastra Facebook, Sebuah Alternatif Pengembangan Proses Kreatif
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatSastra erat kaitannya dengan dunia imajinasi. Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta melalui imajinasi tersebut. Sastra juga merupakan karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasaan estetika dan intelektual bagi pembaca. Siapa pun itu berhak mengekspresikan imajinasinya dan bebas menyampaikan pesan moral yang dibawanya melalui karya yang diciptakannya. Namun, sering karya sastra tidak mampu dinikmati oleh setiap orang karena berbagai keterbatasan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya wahana pemublikasian karya sastra tersebut, sehingga kerap karya yang telah dilahirkan akhirnya harus mengendap di laci sang penulis, terutama bagi penulis pemula.
2.ArgumentasiSebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan, maka akan menguap begitu saja tanpa makna. Untuk memublikasikan sebuah karya sastra itulah diperlukan wahana. Selama ini, wahana yang tersedia adalah media cetak, baik itu buku, koran, majalah, serta tabloid. Dengan berbagai keterbatasan, seperti jumlah halaman pada buku atau jumlah kata pada rubrik-rubrik sastra di koran, menyebabkan karya sastra yang dimuat harus melalui proses penyeleksian. Tentu saja kesempatan terbesar untuk dapat dimuat dalam media cetak tersebut ada pada para sastrawan yang telah memiliki nama besar. Bagi penulis pemula, apabila karyanya tidak spektakuler, atau belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan redaktur, harus mencoba dan mencoba lagi. Hal inilah yang kadang membuat banyak penulis pemula putus asa dan bahkan memutuskan untuk tidak akan mencoba menulis lagi, dan mencamkan dalam dirinya bahwa ternyata ia tidak berbakat.

Padahal untuk memunculkan kreativitas diperlukan proses, yakni proses kreatif. Dengan berputus asa seperti itu, berarti penulis pemula itu telah pula menghambat proses kreatif yang ada dalam dirinya. Ide-ide imajinatif yang masih bercokol dalam otak manusia itu, apabila diperlakukan dengan maksimal akan memunculkan sebuah proses kreatif. Menciptakan suasana yang dapat mengalirkan gagasan dengan bebas merupakan salah satu unsur proses kreatif itu sendiri. Berbagai kecenderungan yang dapat memengaruhi daya kreasi, pengembangan, dan pelaksanaan gagasan sudah selayaknya tak diberi peran, sehingga pemunculan kreativitas tak tersumbat.

Cybersastra, sebagai sebuah wahana, muncul menjawab kegelisahan para penulis atau sastrawan pemula. Wahana ini muncul sekitar awal tahun 2001 seiring dengan merebaknya internet di Indonesia. Cybersastra ini dapat menyalurkan segala bentuk inspirasi bagi penulis pemula yang menjadi tonggak baru kehadiran dunia sastra yang bersifat bebas. Dalam hal ini, karya sastra tidak mengenal ruang, waktu, bahasa, dan mendobrak sekat-sekat negara, karena dengan beberapa detik tulisan yang dimuat akan terekspos ke seluruh belahan negara. Setiap penulis yang memuat karyanya di wahana ini tidak perlu melewati serentetan aturan yang diciptakan para redaktur seperti pada media cetak. Harus diakui bahwa koran dan media cetak lainnya telah punya andil dalam membesarkan nama-nama sastrawan, tetapi terlalu naif apabila menganggap koran atau media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membuat seseorang menjadi sastrawan, terutama pada era keterbukaan dan era digital ini.

Kehadiran Cybersastra membawa suatu inovasi baru dalam menduniakan karya sastra. Theora Aghata dalam esainya “Sastra Cyber: Beberapa Catatan”, terangkum dalam Sastra Pembebasan Antologi Puisi-Cerpen-Esai (2004), mengungkapkan bahwa keberadaan Cybersastra telah menjadi wahana dan wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa depan. Peranan strategis Cybersastra merupakan wahana berkreasi yang mampu meng-update karya secara singkat sehingga menunjang produktivitas dan mendorong perkembangan sastra. Selain itu wahana ini juga mengembangkan wacana kritis dan mengasah kemampuan maupun pemikiran. Kegiatan-kegiatan sastra dalam beberapa tahun terakhir marak berkembang melalui internet, termasuk karya-karya sastra di situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter dan sebagainya.

Facebook sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 ini, kerap dijadikan media pengekspresian imajinasi bagi banyak orang. Sebagai media sosial terbuka, Facebook telah mampu mendapat tempat bagi pelaku sastra. Siapa saja bebas menyiarkan karya-karyanya lewat media ini dan setiap orang pun bebas memberikan komentar atau sekadar mengacungkan jempol sebagai bentuk apresiasi terhadap karya tersebut. Melalui jejaring sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard kelahiran 14 Mei 1984 ini,  siapa saja memiliki keleluasaan mengembangkan ide-ide dan gagasan secara bebas. Pemunculan ide kreatif yang terkait erat dengan kemampuan mentransformasikan serangkaian gagasan abstrak, dapat diubah menjadi sebuah realitas melalui wahana ini. Bahkan beberapa komunitas sastra yang bergerak di sini, seperti “Kopi Sastra”, “Rumah Sastra”, “Dunia Sastra”, dan banyak lagi membentuk kelompok sendiri. Dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Facebook, mereka saling berbagi karya, mengomentari satu sama lain, dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan sastra.

Media ini memiliki peranan penting dalam menghidupkan karya sastra. Bagi para penulis pemula, media ini bisa dijadikan sebagai sebuah bentuk pencarian jati diri di tengah masyarakat dalam memasarkan karya-karyanya. Bagi para sastrawan yang karya-karyanya telah dipublikasikan di media cetak, boleh saja ikut memasarkan karya-karya tersebut melalui media ini. Barangkali, melalui media cetak, karya yang dihasilkannya itu tidak bisa dinikmati oleh semua sasaran, tetapi melalui Facebook, karyanya akan dengan cepat dan mudah diketahui banyak orang. Selain itu, pemilik akun Facebook bisa saling berkomentar seputar dunia sastra dan karya-karya yang dipublikasikan, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak. Si pemilik karya pun bisa melihat sejauh mana apresiasi masyarakat terhadap karyanya.  
3.Pernyataan Ulang PendapatTidak adanya batasan kreativitas pada Facebook ini, seperti halnya media cetak, menyebabkan kebebasan berimajinasi penulis cenderung menciptakan hal-hal baru, yang terkadang bersifat sesuka hati. Akibatnya, karya-karya sastra yang lahir pun semakin liar dan kadang tak terkendali. Oleh sebab itu, kualitas sastra Facebook layak pula ditinjau lebih jauh. Meskipun persoalan mutu bersifat relatif, tetapi hendaknya karya-karya yang lahir melalui media ini tetap berbasis teori sastra secara lazim.

Jangan sampai kehadiran sastra Facebook mementahkan kreativitas, hanya mementingkan kuantitas karya-karya yang berdesakan ingin dipublikasikan tanpa memedulikan kualitas. Tanpa  adanya seleksi seperti pada sastra koran dan sastra buku, tentu menjadi peluang sangat besar akan terjadinya hal semacam ini. Jika masalah ini berlarut-larut tanpa adanya kritik melalui penelitian sastra secara signifikan dan konsisten, maka justru akan menjadi titik degradasi sastra secara besar-besaran.
(Sumber: Riau Pos, Sabtu, 6 April 2013)

Apakah yang disampaikan pada bagian pernyataan pendapat?
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan masalah manusia. Siapa pun itu berhak mengekspresikan imajinasinya dan bebas menyampaikan pesan moral yang dibawanya melalui karya yang diciptakannya. 
Apa pula informasi yang ada pada bagian argumentasi?
  1. Sebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan akan menguap begitu saja tanpa makna. Untuk memublikasikan sebuah karya sastra diperlukan wahana yaitu media cetak, baik itu buku, koran, majalah, serta tabloid. 
  2. Untuk memunculkan kreativitas diperlukan proses, yakni proses kreatif. Dengan berputus asa penulis pemula itu telah pula menghambat proses kreatif yang ada dalam dirinya.
  3. Cybersastra, sebagai sebuah wahana, muncul menjawab kegelisahan para penulis atau sastrawan pemula. Cybersastra ini dapat menyalurkan segala bentuk inspirasi bagi penulis pemula yang menjadi tonggak baru kehadiran dunia sastra yang bersifat bebas.
  4. Kehadiran Cybersastra membawa suatu inovasi baru dalam menduniakan karya sastra. Cybersastra telah menjadi wahana dan wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa depan. 
  5. Facebook sebuah situs web jejaring sosial populer kerap dijadikan media pengekspresian imajinasi bagi banyak orang. Sebagai media sosial terbuka, Facebook telah mampu mendapat tempat bagi pelaku sastra. Siapa saja bebas menyiarkan karya-karyanya lewat media ini.
  6. Media ini memiliki peranan penting dalam menghidupkan karya sastra. Bagi para penulis pemula, media ini bisa dijadikan sebagai sebuah bentuk pencarian jati diri di tengah masyarakat dalam memasarkan karya-karyanya.  

Fakta dan Opini
Agar dapat memengaruhi pembaca, penulis opini sering menambahkan data dan fakta untuk mendukung pendapatnya. Carilah argumentasi yang terdapat dalam teks “Sastra Facebook, Sebuah Alternatif Pengembangan Proses Kreatif”. Identifikasikanlah argumentasi yang ada, apakah merupakan pendapat penulis atau fakta yang mendukung pendapat penulis.
Pendapat penulis
  1. Sebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan, maka akan menguap begitu saja tanpa makna. 
  2. Bagi penulis pemula, apabila karyanya tidak spektakuler, atau belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan redaktur, harus mencoba dan mencoba lagi. 
  3. Hal inilah yang kadang membuat banyak penulis pemula putus asa dan bahkan memutuskan untuk tidak akan mencoba menulis lagi, dan mencamkan dalam dirinya bahwa ternyata ia tidak berbakat.
  4. Dengan berputus asa seperti itu, berarti penulis pemula itu telah pula menghambat proses kreatif yang ada dalam dirinya.
  5. Oleh sebab itu, kualitas sastra Facebook layak pula ditinjau lebih jauh. Meskipun persoalan mutu bersifat relatif, tetapi hendaknya karya-karya yang lahir melalui media ini tetap berbasis teori sastra secara lazim.

Fakta
  1. Untuk memublikasikan sebuah karya sastra itulah diperlukan wahana. Selama ini, wahana yang tersedia adalah media cetak, baik itu buku, koran, majalah, serta tabloid. 
  2. Menciptakan suasana yang dapat mengalirkan gagasan dengan bebas merupakan salah satu unsur proses kreatif itu sendiri.
  3. Kegiatan-kegiatan sastra dalam beberapa tahun terakhir marak berkembang melalui internet, termasuk karya-karya sastra di situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter dan sebagainya.
  4. Kehadiran Cybersastra membawa suatu inovasi baru dalam menduniakan karya sastra.
  5. Theora Aghata dalam esainya “Sastra Cyber: Beberapa Catatan”, terangkum dalam Sastra Pembebasan Antologi Puisi-Cerpen-Esai (2004), mengungkapkan bahwa keberadaan Cybersastra telah menjadi wahana dan wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa depan. 
  6. Cybersastra, sebagai sebuah wahana, muncul menjawab kegelisahan para penulis atau sastrawan pemula. 
  7. Facebook sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 ini, kerap dijadikan media pengekspresian imajinasi bagi banyak orang.
  8. Melalui jejaring sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard kelahiran 14 Mei 1984 ini, siapa saja memiliki keleluasaan mengembangkan ide-ide dan gagasan secara bebas.

Menginterpretasi Fungsi Sosial Teks Opini/Editorial

Dalam kehidupan kita sehari-hari kita tentu akrab dengan media cetak seperti surat kabar, majalah, dan tabloid, semuanya pasti menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar berita. Tapi, tak semua penggunaan kata di media cetak tersebut sesuai dengan ejaan yang berlaku yaitu EYD. Kesalahan tersebut dapat berupa ketidak sesuaian pada penggunaan kata, tanda baca, maupun singkatan dan akronim. Pers memiliki fungsi pencerdas bangsa yang lebih menentukan. Pers sekaligus menjadi pencari berita dan menjadi guru bahasa. Guru bahasa di sini diartikan memiliki kepedulian yang akhirnya mencerahkan pikiran warga masyarakat. Dalam penyampaian informasi tentunya penggunaan ejaan yang baik sangat dibutuhkan karena dengan adanya penggunaan ejaan yang baik kita dapat dengan mudah memahami informasi yang di sampaikan.

Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Sedangkan akronim, ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Akronim atau singkatan yang terdiri dari dua atau tiga huruf disarankan sebaiknya tidak dijadikan judul artikel, kecuali untuk kasus-kasus istimewa, karena akronim dan singkatan yang terdiri dari dua atau tiga huruf dapat memiliki kepanjangan lebih dari satu dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Untuk pembentukan akronim, hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. Kedua, akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Pil Pilu Pemilu
Oleh: Zen Hae (Penyair dan Kritikus Sastra)
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatPemilihan umum (pemilu) bukan hanya pesta demokrasi, tetapi juga pesta akronim (dan singkatan). Menjelang dan saat pemilulah kita menyaksikan bangsa kita memproduksi akronim secara besar-besaran. Pemilu itu adalah sebuah akronim, begitu juga tahapan dan perangkatnya: pemilukada atau pilkada, pileg, pilpres, pilwalkot, luber jurdil, parpol, bawaslu/panwaslu, balon, dapil, caleg, capres/cawapres, pantarlih, dan seterusnya.
2.ArgumentasiBegitulah, pangkal soal utama akronim dalam hasrat akan keringkasan dalam berkomunikasi. Kita menggunakan akronim sebagai salah satu jalan keluar agar kalimat yang kita ungkapkan terasa ringkas, mudah diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa yang beringatan pendek ini.

Sejatinya, akronim bukanlah kata. Ia hanya kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan, setidaknya, tiga kecenderungan. Pertama, prinsip semau gue. Satuan terkecil akronim adalah huruf atau suku kata dari sejumlah kata yang dipadatkan. Namun, tidak ada kesepakatan dalam pemadatan itu. Huruf atau suku kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot: yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip adalah unsur kata dasar atau kata turunan. Semuanya boleh sepanjang akronim itu bisa “diperlakukan sebagai sebuah kata”, karena begitulah pengertian dasar akronim menurut Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2009).

Akan tetapi, bagaimana kita bisa memperlakukan akronim sebagai sebuah kata, dengan cara yang wajar pula? Ambil contoh lain: “Sentra Gakkumdu” (Sentra Penegakan Hukum Terpadu). Meski menurut syarat pembentukan akronim ia tidak lebih dari tiga suku kata dan taat asas dengan mengambil suku kata terakhir setiap kata, “Gakkumdu” adalah “kata” yang aneh, baik bunyi maupun kombinasi vokal dan konsonannya.

Kedua, pencomotan huruf atau suku kata itu menggiring kita ke dalam perangkap alusi bunyi. Sadar atau tidak, saat membuat akronim, kita membayangkan bunyi yang mirip dengan bunyi kata yang sudah ada, atau bahkan sama persis, sehingga kata yang sudah ada itu mengalami pengayaan makna. Misalnya, “pileg” (pemilu legislatif) beralusi bunyi dengan pilek; “caleg” (calon anggota legislatif) dengan calo, sementara “balon” (bakal calon) sebunyi dengan balon.

Terakhir, sebaliknya, pembentukan akronim juga menghindari jebakan alusi bunyi. Sejak awal Orde Baru, “pemilihan umum” diakronimkan dengan “pemilu”, bukan “pilum” atau  “pemilum” (jika mengacu ke pola “ketum”), tidak juga “pilu”, yang mencomot unsur kata dasar pilih dan umum. Jika pemilu
diakronimkan dengan “pilu”, akan segera beralusi bunyi dengan kata pilu yang kita sudah tahu maknanya. Jika “pilu” yang digunakan, permainan makna akan menyasar ironi pemilu di masa itu: pemenangnya partai tertentu melulu. Sedangkan kini “pemilu” bisa juga dimaknai sebagai “menyebabkan pilu atau sakit hati” akibat munculnya pelbagai sengketa dan kecurangan pemilukada.

Memang, dalam pembuatannya, akronim yang berpola kadang tidak menarik atau membingungkan, maka orang memilih yang melenceng tetapi menghasilkan kemerduan bunyi (misalnya “sisminbakum”) atau menyaran kepada harapan dan doa. Itulah mengapa Wiranto, capres dari Partai Hanura, menyingkat namanya menjadi “Win”, bukan “Wir”, karena dengan “Win” dia berharap akan meraih kemenangan di pilpres. Sedangkan dengan “Wir” terkesan peluangnya akan “terkiwir-kiwir" sebagaimana pernah dinyatakan seorang pengguna Twitter.
3.Pernyataan Ulang PendapatAkhirulkalam, bagaimana semestinya sikap kita terhadap akronim? Saya menerima akronim sebagai sebentuk kreativitas dan permainan makna yang menyegarkan. Pada titik tertentu, ia terasa mengotori bahasa Indonesia atau memperbingung penuturnya, apalagi penutur asing. Agar mudah dipahami dalam berkomunikasi, syaratnya sederhana: kita harus merumuskan kalimat sepadat dan sejernih mungkin—bukan membuat akronim atau singkatan.
(Sumber: Majalah Tempo, 24 Februari—2 Maret 2014, halaman 78)

Apa yang Anda ketahui tentang akronim? Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang di perlukan sebagai kata.

Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa pemilihan umum bukan hanya pesta demokrasi, tetapi juga pesta akronim? Setuju karena pada saat pemilihan umum banyak sekali akronim yang digunakan seperti caleg, dapil, cagub, pileg, TPS, panwaslu, gastarlih, pilpres dan masih banyak yang lainnya.

Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa penyebab utama pembuatan akronim adalah keinginan akan keringkasan dalam berkomunikasi? Setuju karena secara umum, akronim-akronim tersebut dibuat untuk mempersingkat jumlah kata agar menghemat waktu dalam pengucapan. Selain itu, sebagian akronim sengaja diplesetkan agar terkesan lucu, untuk menciptakan keakraban komunikasi sehari-hari.

Setujukah And bahwa akronim, pada titik tertentu, terasa mengotori bahasa Indonesia? Setuju karena saat ini, terdapat banyak akronim berkembang di masyarakat. Namun, tidak sedikit yang menerjang kaidah kebahasaaan. Pada salah satu media cetak ditemukan penulisan akronim markus (kasus Anggodo-Bank Century). Akronim markus  yang berarti ‘makelar kasus’ tersebut membingungkan masyarakat umum karena kombinasi vokal dan konsonannya terkesan aneh. Kebanyakan masyarakat akan mengira bahwa markus adalah nama orang yang ditunjuk Anggodo dalam kasus Bank Century. Lalu, begitu dinamiskah bahasa sehingga seringkali dibuat seenaknya dan terkadang memunculkan makna baru yang belum tentu berterima di masyarakat.

Perhatikan akronim “KarSa” (Soekarwo-Saifullah Yusuf) dan “balon” (bakal calon). Kemukakanlah pendapat Anda tentang kedua akronim tersebut. Pada akronim KarSa suku kata yang diambil adalah pada bagian tengah (Su-kar-wo Sai-ful-lah Yu-suf), menyaran pada Karsa yang berarti daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Pada akronim balon bagian yang diambil adalah bagian depan dan bagian belakang (ba-kal ca-lon). Menyaran pada kemerduan bunyi jika dibandingkan apabila menggunakan akronim baca (ba-kal ca-lon)

Perhatikan dengan saksama kutipan berikut ini. "Kita menggunakan akronim sebagai salah satu jalan keluar agar kalimat yang kita ungkapkan terasa ringkas, mudah diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa yang beringatan pendek ini" Menurut Anda, apa sebenarnya yang ingin disampaikan penulis opini “Pil Pilu Pemilu” ini? Kata lain untuk ‘bangsa pelupa’ adalah ‘bangsa pendek ingatan’. Ambiguitas pengertian serta merta timbul dari ungkapan ‘bangsa pendek ingatan’, sebab kata-kata ini dapat bernuansa negatif, sepadan dengan kelompok manusia yang bertindak emosional dan tidak sanggup berpikir jauh ke depan. Atau, setelah bertindak baru mulai berpikir, sehingga segala konsekuensi yang mengikutinya bukan lagi menjadi tanggung jawab si penutur. 

“Akronim bukanlah kata. Akronim hanyalah kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan prinsip semau gue”. Kemukakanlah pendapat Anda tentang hal ini. Satuan terkecil akronim adalah huruf atau suku kata dari sejumlah kata yang dipadatkan. Namun, tidak ada kesepakatan dalam pemadatan itu. Huruf atau suku kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot: yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip adalah unsur kata dasar atau kata turunan. Pembuat akronim terkadang hanya mementingkan kemerduan bunyi saja tanpa memperhatikan proses pembentukan katanya.

Bagaimana Anda menyikapi akronim yang berkembang dalam bahasa Indonesia? Bahasa merupakan ungkapan dan cerminan kehidupan budaya dalam arti yang luas. Dapat juga dikatakan bahwa perubahan bahasa mencerminkan perubahan budaya dalam berbagai segi. Bahasa memberikan gambaran orang yang memakai bahasa itu. Akronim cenderung hanya dimengerti oleh kalangan tertentu, akronim itu cenderung membingungkan, bahkan pembaca atau pendengar bisa terkecoh atau tertipu.

Menurut Anda, apakah akronim dapat memperkaya atau malah merusak bahasa Indonesia? Menurut saya akronim dapat merusak bahasa Indonesia. Menyingkat-nyingkat tulisan memang mudah saja, tapi bahayanya adalah merusak bahasa. Misalnya akronim murmer kepanjangannya yaitu murah meriah yang tujuannya tentu saja untuk menarik perhatian pembaca/pelanggannya dalam rangka promosi. Menurut saya tidak perlulah menambah, mengurangi, bahasa kita yang justru malah merusak bahasa kita Indonesia. Bukankah cinta tanah air termasuk di dalamnya cinta bahasa Indonesia? Hal ini yang perlu kita tanamkan kembali pada generasi-generasi muda Indonesia untuk lebih cerdas dengan berbahasa yang baik.

Carilah berbagai akronim yang telah berkembang dalam bahasa Indonesia. Buatlah contoh kalimat yang mengandung akronim tersebut.
No.AkronimKepanjanganContoh dalam Kalimat
1.PuskesmasPusat kesehatan masyarakatPuskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan disatu atau sebagian wilayah kecamatan. 
2.TilangBukti PelanggarangKalau anda ingin menghadiri sidang, datanglah sesuai tanggal sidang yang tertera di surat tilang ke PN yg ditunjuk.
3.RudalPeluru kendaliSebelum tahun 2012, boleh dibilang lini sista rudal udara ke udara yang dimiliki TNI AU cukupinferior bila dibandingkan AU Singapura dan AU Malaysia.
4.PemkotPemerintah KotaMenjelang Lebaran, tim gabungan Pemkot Malang mengadakan inspeksi mendadak makanan dan minuman di sejumlah toko dan swalayan
5.GepengGelandangan dan pengemisDua gepeng yang biasa mangkal di Simpang Siti Hajar Jalan Jamin Ginting Medan, berlari kencang saat Satuan Polisi Pamong Praja hendak menangkap mereka.
6.SiskamlingSistem keamanan lingkunganDalam pelaksanaan kegiatan ataupun aktivitas siskamling, dilakukan dengan ronda. Ronda adalah berjalan berkeliling (patroli) untuk menjaga keamanan di kampung / desa setempat baik dengan jalan kaki ataupun menggunakan kendaraan bermotor.
7.PosyanduPos pelayanan terpaduMenurut Effendy (1998), Posyandu merupakan forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat, dari oleh dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. 
8.TogaTanaman Obat keluarGAPemanfaatan TOGA yang digunakan untuk pengobatan gangguan kesehatan keluarga menurut gejala umum adalah: Demam panas, Batuk, Sakit perut, dan Gatal-gatal.
9.Sinetronsinema elektronikRCTI kembali mendobrak dunia persinetronan tanah air dengan mengeluarkan salah satu sinetron yang bergenre remaja, cinta dan sedikit keren berbau jalanan dimana para pemainya sekelas aktor Ganteng Stefean William dalam sinetron ini mengendari motor Sport dengan para ganknya.
10.CuranmorPencurian kendaraan bermotorKapolsek Serpong Kompol Heribetrus Ompusunggu memperlihatkan tersangka dan barang bukti curanmor saat di Mapolsek Serpong,

Menyunting dan Mengabstraksi Teks Opini/Editorial

Teks opini adalah teks yang berisi perkiraan, pikiran, pendapat, atau anggapan tentang suatu hal. Menyunting teks opini adalah kegiatan memperbaiki teks opini sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa teks opini. Ciri yang paling menonjol adalah penggunaan teks opini antara lain yang berhubungan dengan adverbia, konjungsi, verba (material, relasional, dan mental) dan kosa kata. Sebelum teks opini diterbitkan perlu disunting terlebih dahulu. Sebuah teks opini disunting karena ingin menjaga kualitas teks tersebut. Menyunting naskah tersebut diperlukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam sebuah teks opini. Menyunting merupakan langkah terakhir dari tahap penyusunan suatu teks opini sebelum teks tersebut diterbitkan.

Dalam menyunting teks opini ada hal-hal yang harus diperhatikan misalnya, sebelum mulai menyunting teks opini, penyunting wajib mencari informasi mengenai kaidah penulisan teks opini, Hal-hal yang mungkin akan diubah dalam teks oleh penyunting wajib dikonsultasikan dengan penulis teks opini, Dalam kegiatan menyunting teks opini punyunting naskah tidak boleh menghilangkan naskah yang akan, sedang, atau telah disuntingnya. Oleh karena itu, ada beberapa bagian teks opini yang harus dipahami dalam menyunting struktur dan kaidah-kaidah teks opini. Cara menyunting teks opini antara lain sebagai berikut.

Pengimbuhan
Pengimbuhan menunjukkan pertalian yang teratur antara bentuk dan makna kata. Keteraturan itu dapat dimanfaatkan untuk mengungkapkan makna konsep yang berbeda. Berikut ini terdapat contoh bentuk berimbuhan yang menunjukkan pertalian makna tersebut. Tugas kalian adalah mencari bentuk berimbuhan lainnya untuk melengkapi kolom yang kosong.
No.VerbalPelaku/AlatProsesHasil
1.mengubahpengubah (yang mengubah)pengubahan (proses mengubah)ubahan (hasil mengubah)
2.menyediakanpenyedia
(yang menyediakan)
penyediaan
(proses menyediakan)
persediaan
(hasil menyediakan)
3.memberipemberi
(yang memberikan)
memberikan
(proses memberikan)
pemberian
(hasil memberikan)
4.memasangpemasang
(yang memasang)
pemasangan
(proses memasang)
pasangan
(hasil memasang)
5.membangunpembangun
(yang membangun)
pembangunan
(proses membangun)
bangunan
(hasil membangun)
6.membuatpembuat (yang membuat)pembuatan (proses membuat)buatan (hasil membuat)
7.membawapembawa (yang membawa)pembawaan (proses membawa)bawaan (hasil membawa)
8.membantupembantu (yang membantu)pembantuan (proses membantu)bantuan (hasil membantu)
9.mencobapencoba (yang mencoba)percobaan (proses mencoba)cobaan (hasil mencoba)
10.memperolehpemeroleh (yang memperoleh)pemerolehan (proses memperoleh)perolehan (hasil memperoleh)

Reduplikasi
Reduplikasi merupakan proses pengulangan. Reduplikasi juga merupakan proses penurunan kata dengan perulangan utuh maupun sebagian. Dalam reduplikasi terjadi perubahan makna gramatikal, sehingga terjadi satuan yang berstatus kata. Ada tiga macam bentuk reduplikasi, yaitu reduplikasi fonologis, reduplikasi morfemis, dan reduplikasi sintaksis. Reduplikasi fonologis tidak terjadi perubahan makna, karena pengulangannya hanya bersifat fonologis artinya bukan atau tidak ada pengulangan leksem. Misalnya dada, tubi-tubi, dan kupu-kupu termasuk reduplikasi fonologis karna bentuk dasarnya bukan dari da, tubi, dan kupu. Reduplikasi morfemis terjadi perubahan makna gramatikal atas leksem yang diulang, sehingga terjadilah satuan yang berstatus kata. Dan reduplikasi sintaksis adalah proses yang terjadi atas leksem yang menghasil satuan yang berstatus klausa, jadi berada di luar cakupan morfologi. Contoh, asam-asam dimakannya juga mangga itu.
No.ReduplikasiMaknaContoh Kalimat
1.tidur-tidurankurang sungguh-sungguh (deintensif)Dari tadi pagi si Bobi kerjanya cuma tidur-tiduran di sofa.
2.antar-mengantarberbalasan (resiprokal)Pada hari Natal para kenalan antar-mengantar hadiah.
3.beres-beressungguh-sungguh (intensif)Sebaiknya beres-beres dari sekarang.
4.keliling-kelilingberkali-kali (iteratif)Kami cuma keliling-keliling di kebun 
5.rumah-rumahbentuk jamakRumah-rumah di Jakarta tidak diatur sedemikian rupa sehingga kelihatan semrawut.
6.warna-warnibermacam-macamPelangi di langit berwarna-warni sangat indah
7.lelakitidak mengalami perubahan maknaLelaki sejati tak pandai mengumbar janji karena setiap janji bernilai dan merupakan pertanda harga diri
8.tali-temalivariasiTali-temali diajarkan dalam kepramukaan
9.ibu-ibuyang bertindak sebagaiIbu-ibu berkumpul di Posyandu pada hari Sabtu.
10.mobil-mobilanyang miripIbunya sering membelikannya mobil-mobilan.

Konjungsi
Hubungan antarkalimat yang membentuk kalimat majemuk selain ditandai oleh kata penghubung (konjungsi) juga ditandai oleh koma (,) atau titik koma (;). Jika hubungan ini menunjukkan ketidaklogisan, salah satu penyebabnya adalah penggunaan konjungsi yang tidak tepat. Berikut diberikan beberapa contoh kalimat majemuk yang menggunakan konjungsi. Jika pengggunaan konjungsi berikut sudah tepat, berilah tanda (√) pada kolom (B). Akan tetapi, jika penggunaan konjungsi dalam kalimat berikut tidak logis, berilah tanda (√) pada kolom (S).
No.ReduplikasiBS
1.Resor tumbuh menjamur, oleh sebab itu kontribusi mereka kepada ekonomi daerah amat minimal.-
2.Karena secara terminologis kata baik dan benar sudah menyaran pada hal yang sempurna dan tanpa cacat, orang pun tidak segan-segan memaknai slogan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu sama dengan bahasa Indonesia baku. Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.-
3.Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu pun tidak ada.-
4.Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi pemakaiannya, meskipun bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa.-
5.Berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat memperlancar komunikasi, kemudian juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.-
6.Pemilihan umum (pemilu) bukan hanya pesta demokrasi, namun juga pesta akronim (dan singkatan).-
7.Dalam pembuatannya, akronim yang berpola kadang tidak menarik atau membingungkan, maka orang memilih yang melenceng tetapi menghasilkan kemerduan bunyi-
8.Meskipun saya tidak dapat menghadiri undangan tersebut tetapi saya akan tetap mengirimkan kado.-
9.Jepang telah menyiapkan teknologi tahan bencana dan membangun sistem sosial yang tanggap bencana.-
10.Jika guru tidak hadir, maka para siswa akan berkeliaran di luar kelas.-

Kalimat Majemuk
Kesejajaran unsur kalimat pada kalimat majemuk setara itu diperlukan. Kesejajaran itu meliputi jenis kalimat ataupun urutan unsur kalimatnya. Sebagai contoh, jika kalimat pertama yang menjadi unsur kalimat majemuk setara itu berupa kalimat nomina, pengisi predikatnya berupa nomina, kalimat kedua dan kalimat selanjutnya juga harus berupa kalimat nominal. Selanjutnya, jika kalimat pertama dalam kalimat majemuk setara itu berupa kalimat transitif, kalimat kedua dan selanjutnya juga harus berupa kalimat transitif. Misalnya sebagai berikut.
  • Para pegawai negeri menerima gaji setiap awal bulan dan dibelanjakan sebagian untuk keperluannya sehari-hari.
  • Penulisan laporan itu dilakukan oleh kelompok V, tetapi kelompok I menyempurnakan.

Kedua contoh kalimat majemuk setara di atas tidak memperlihatkan kesejajaran. Ketidaksejajaran tersebut dapat dilihat dari kata yang dicetak miring sebagai unsur pengisi kalimat majemuk setara. Kedua kalimat ini dapat diperbaiki seperti berikut.
  • Para pegawai negeri menerima gaji setiap awal bulan dan membelanjakannya sebagian untuk keperluannya sehari-hari.
  • Penulisan laporan itu dilakukan oleh kelompok V, tetapi disempurnakan oleh kelompok I.

Buatlah 5 contoh kalimat majemuk setara lainnya.
  1. Jepang tergolong negara maju, tetapi Indonesia tergolong negara berkembang.
  2. Juhariyah pergi ke pasar sedangkan Ragil berangkat ke bengkel.
  3. Syifa telah mempelajari secara mendalam ilmu ekonomi dan perbankan syariah, setelah itu ia mendirikan bank sendiri.
  4. Aku sedang membaca buku dan Adikku sedang mengerjakan PRnya di ruang tamu. 
  5. Susanto terkenal akan kejujurannya tetapi kakaknya terkenal karena ketidak jujurannya.
Salah satu ciri yang membedakan induk kalimat dan anak kalimat adalah kemandirian. Induk kalimat mempunyai kemandirian jika dibandingkan dengan anak kalimat. Seperti yang terlihat pada contoh berikut ini.
(a) Ketika ayah datang, ibu sedang membersihkan halaman belakang.
(b) Rani kecewa karena proposal penelitiannya tidak disetujui oleh promotornya.
(c) Cerita pendek ini sangat bagus meskipun hanya dikerjakan selama sebulan.

Unsur kalimat (a) ibu sedang membersihkan halaman belakang; (b) Rani kecewa; serta (c) Cerita pendek ini sangat bagus merupakan induk kalimat karena dapat berdiri sendiri sebagai kalimat tunggal yang mandiri, tidak bergantung pada unsur lainnya. Buatlah 10 kalimat majemuk lainnya yang memiliki unsur induk kalimat.
No.Kalimat MajemukInduk KalimatAnak Kalimat
1.Adik sedang bermain di kamarnya sedangkan ibu menyiapkan makanan di dapur.Adik sedang bermain di kamarnya.Ibu menyiapkan makanan di dapur
2.Pekerjaan itu sudah selesai ketika ayah datang dari kantorPekerjaan itu sudah selesaiayah datang dari kantor
3.Nenek membaca majalah ketika kakek pergi ke pasarNenek membaca majalahkakek pergi ke pasar
4.Hasil ujiannya yang bagus menunjukan bahwa dia anak rajin.Hasil ujiannya yang bagusdia anak rajin
5.Ani selalu menolong orang lain oleh karena itu dia sangat disayangi.Ani selalu menolong orang laindia sangat disayangi
6.Ajiz mendapatkan rangking 1, karena dia anak yang rajinAjiz mendapatkan rangking pertamadia anak yang rajin
7.Danis sengaja tidur siang agar dia bisa bangun pagi buat belajarDanis sengaja tidur siangdia bisa bangun pagi buat belajar
8.Dia mendirikan perusahaan itu ketika dia masih kuliah tingkat tiga.Dia mendirikan perusahaan ituDia masih kuliah tingkat tiga
9.Ketika memberikan keterangan, saksi itu meneteskan air mata.Saksi itu meneteskan air mata.ketika memberikan keterangan
10.Dengan menurunkan harga beberapa jenis BBM, kita berharap kegiatan ekonomi tidak lesu lagi.Kita berharap kegiatan ekonomi tidak lesu lagiDengan menurunkan harga beberapa jenis BBM

Abstraksi Teks
Abstraksi adalah ringkasan, intisari, atau garis besar. Mengabstraksi teks opini adalah meringkas teks opini dengan menuliskan garis besar teks tersebut dalam beberapa kalimat yang padu. Abtsraksi harus memperhatikan bagian-bagian penting dari suatu teks untuk disusun menjadi sebuah garis besar yang lengkap. Perhatikan teks berikut.

Mitigasi Belum Optimal
  1. Tanpa kebijakan permanen menghadapi bencana gunung, penyelamatan morat-marit. Hindari simpang-siur media sosial.
  2. Pemerintah terlihat kurang cekatan dalam menanggulangi dampak erupsi. Seolah-olah tak belajar dari akibat letusan Sinabung yang morat-marit, dari penyediaan masker sampai pasokan air minum, selimut, dan obat-obatan, pemerintah terkesan kurang sigap-tanggap. Terkatung-katungnya sejumlah pengungsi karena pos penampungan mereka ternyata sudah digunakan pengungsi lain membuktikan manajemen penanggulangan yang serba dadakan.
  3. Operasi tanggap darurat yang dilakukan pemerintah terkesan sebatas respons reaktif, spontan, dan sporadis. Sudah saatnya kita memiliki kebijakan permanen yang mampu mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana, yakni kebijakan yang berangkat dari database pemetaan daerah rawan letusan gunung berapi. Dibutuhkan operasi dengan persiapan koordinasi penyelamatan, penyediaan infrastruktur, sampai pelatihan relawan yang dilakukan secara prabencana.
  4. Negara seperti Jepang, yang merupakan langganan gempa, secara sistemik memiliki program kesiap-siagaan menghadapai bencana. Mereka menyiapkan teknologi tahan bencana dan membangun sistem sosial yang tanggap bencana. Mereka menginginkan masyarakatnya memiliki kultur sadar bencana yang rasional. Sedangkan dalam alam pikir masyarakat kita, letusan gunung masih dianggap sesuatu yang insidental, yang walaupun merupakan malapetaka tetap mengandung “hikmah” tertentu.
  5. Kemampuan pemerintah memberikan informasi penting yang harus dipatuhi masyarakat masih lemah. Akibatnya, banyak korban jatuh yang sebetulnya bisa dihindari. Erupsi Kelud, misalnya, tak banyak memakan korban langsung. Korban meninggal dan luka-luka justru karena dampak tak langsung. Beberapa orang tewas karena keruntuhan atap rumah ketika membersihkan debu yang menumpuk di bubungan.
  6. Tatkala hujan turun, air membuat debu mengeras, menjadi mirip campuran semen. Atap pun ambruk karena tak kuat menahan beban. Masih ada kemungkinan korban bertambah akibat masyarakat melanggar zona bahaya. Dalam radius sepuluh kilometer, masyarakat dilarang masuk karena kemungkinan datangnya awan panas. Tetapi, dalam kenyataannya, banyak penduduk menerobos karena menganggap keadaan sudah aman.
  7. Kesimpang-siuran informasi hampir selalu terulang pada setiap bencana. Setelah letusan Kelud, di media sosial ramai dibicarakan Gunung Bromo-Semeru akan menyusul. Isu palsu ini bisa membuat panik. Erupsi tak mirip virus influenza. Setiap gunung memiliki aktivitas vulkanis sendiri-sendiri, tidak bergantung gunung lain.
  8. Seyogianya, pemerintah tangkas memberi informasi yang terangbenderang, yang tingkat akurasinya mampu menyelamatkan masyarakat. Pada kenyataannya, masyarakat lebih sering mempercayai prediksi dari sumber tak jelas, misalnya “juru kunci”. Pemerintah, bagaimanapun, harus mampu menyinergikan deteksi bencana yang bertolak dari ilmu pengetahuan dan pengalaman lokal.
  9. Tugas mitigasi adalah meningkatkan pengetahuan mayarakat tentang ciri-ciri letusan gunung secara ilmiah. Tugas mitigasi juga membangun menajemen rasional penanggulangan berbasis masyarakat. Daripada menghamburkan uang untuk hal-hal tak penting, lebih baik pemerintah mulai menyiapkan infrastruktur mitigasi yang benar. (Sumber: Majalah Tempo, 2 Maret 2014)

Ringkasan teks “Mitigasi Belum Optimal” adalah sebagai berikut.
Tanpa kebijakan permanen menghadapi bencana gunung, penyelamatan morat-marit. Pemerintah terlihat kurang cekatan dalam menanggulangi dampak erupsi. Operasi tanggap darurat yang dilakukan pemerintah terkesan sebatas respons reaktif, spontan, dan sporadis. Dibutuhkan operasi dengan persiapan koordinasi penyelamatan, penyediaan infrastruktur, sampai pelatihan relawan yang dilakukan secara prabencana.

Negara seperti Jepang, secara sistemik memiliki program kesiap-siagaan menghadapai bencana. Sedangkan dalam alam pikir masyarakat kita, letusan gunung masih dianggap sesuatu yang insidental.

Kemampuan pemerintah memberikan informasi penting masih lemah. Korban meninggal dan luka-luka justru karena dampak tak langsung. Beberapa orang tewas karena keruntuhan atap rumah ketika membersihkan debu yang menumpuk di bubungan.

Tatkala hujan turun, air membuat debu mengeras, atap pun ambruk karena tak kuat menahan beban. Masih ada kemungkinan korban bertambah akibat masyarakat melanggar zona bahaya. Kenyataaanya banyak penduduk menerobos karena menganggap keadaan sudah aman.

Kesimpang-siuran informasi hampir selalu terulang pada setiap bencana. Erupsi tak mirip virus influenza. Setiap gunung memiliki aktivitas vulkanis sendiri-sendiri, tidak bergantung gunung lain.

Seyogianya, pemerintah tangkas memberi informasi yang terang-benderang. Pada kenyataannya, masyarakat lebih sering mempercayai prediksi dari sumber tak jelas. Pemerintah harus mampu menyinergikan deteksi bencana yang bertolak dari ilmu pengetahuan dan pengalaman lokal.

Tugas mitigasi adalah meningkatkan pengetahuan mayarakat tentang ciri-ciri letusan gunung secara ilmiah. Tugas mitigasi juga membangun menajemen rasional penanggulangan berbasis masyarakat. Daripada menghamburkan uang untuk hal-hal tak penting, lebih baik pemerintah mulai menyiapkan infrastruktur mitigasi yang benar