Fungsi, Struktur, dan Kaidah Teks Editorial
1. Fungsi Teks Editorial
Editorial merupakan teks dalam suatu media massa yang menyatakan pandangan media yang bersangkutan terhadap suatu permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, di dalam editorial selalu ada fakta dan opini.
Editorial mengemukakan masalah aktual di masyarakat. Oleh redaksi, media yang bersangkutan, masalah itu diulas dengan disertai tanggapan-tanggapan. Isi tanggapan itu mungkin berupa pujian, kritikan, sindiran, ataupun saran.
Perhatikanlah kedua kalimat di bawah ini.
a. Jumlah siswa di kelas itu bertambah dari semula 30 orang menjadi 32 orang.
b. Perlu ada perubahan formasi tempat duduk agar suasana belajar di kelas ini lebih menyenangkan.
Kalau kita perhatikan dengan cermat, isi dari kedua pernyataan itu berbeda. Pernyataan (a) menyampaikan fakta atau informasi. Adapun, pernyataan kedua menyampaikan pendapat atau saran terhadap fakta itu. Dengan memerhatikan sifat dari masing-masing pernyataan,
pernyataan (a) disebut dengan fakta dan pernyataan (b) disebut dengan pendapat atau opini.
a. Fakta adalah hal, keadaan, peristiwa yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang benar- benar terjadi. Dengan kata lain, fakta merupakan potret tentang keadaan atau peristiwa. Oleh karena itu, fakta sulit terbantahkan karena dapat dilihat, didengar, atau diketahui oleh banyak pihak. Namun, fakta bisa saja berubah apabila ditemukan fakta baru yang lebih jelas dan akurat.
b. Opini adalah pendapat, pikiran, ataupun pendirian. Opini belum pasti benar adanya.
Pendapat pribadi itu dapat salah atau benar, bukan? Pendapat seseorang juga dapat berbeda dengan pendapat lainnya. Suatu pendapat semakin mendekati kebenaran apabila ditunjang oleh fakta yang kuat dan meyakinkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fakta berfungsi sebagai dasar bagi suatu pendapat. Penulis mengemukakan fakta terlebih dahulu; kemudian berpendapat. Mungkin pula fakta berfungsi untuk memperjelas pendapat. Dalam hal ini, seseorang berpendapat terlebih dahulu, kemudian menyertainya dengan fakta-fakta. Berdasarkan pengertian dan contoh-contoh di atas, kita sekarang bisa membedakan fakta dengan opini.
Dalam editorial ataupun tajuk
rencana suatu surat kabar atau majalah, fakta dan opini selalu muncul
bersamaan. Pendapat-pendapat yang dikemukakannya itu bisa merupakan tanggapan atas fakta aktual yang terjadi
di masyarakat yang kemudian menjadi
sorotan bagi media itu.
Perhatikanlah
contoh berikut.
Fakta |
Opini |
1. Kini rata-rata
waktu yang digunakan setiap siswa untuk belajar sekitar lima jam per hari. 2. Sementara itu, pada
tahun sebelumnya menurut survei sebuah LSM, waktu belajar mereka di luar
kegiatan sekolah hanya 2-3
jam per hari. |
Kesadaran akan
pentingnya belajar pada kalangan remaja Indonesia semakin meningkat, terutama
apabila dilihat dari jumlah jam belajarnya. Kesadaran itu perlu ditunjang
oleh kepedulian pihak orang tua dan
pemerintah, misalnya dengan menyediakan bahan bacaan yang bermutu dan sesuai
dengan taraf perkembangan psikologi mereka. |
Dari contoh di atas tampak bahwa opini yang dikemukakan itu
merupakan tanggapan atas fakta-fakta yang
ada. Dapat pula sebaliknya, pendapat yang dikemukakan itu diperkuat oleh fakta-fakta. Dengan adanya fakta-fakta
menjadikan opini itu menjadi lebih kuat dan meyakinkan.
Fakta dan opini bisa menjadikan wawasan pembacanya bertambah
luas. Lebih dari sekadar mengetahui tentang ada-tidaknya suatu peristiwa.
Dengan membaca editorial, kita pun dapat lebih
memahami sekaligus dapat
menilai (bersikap kritis)
terhadap suatu peristiwa. Perhatikanlah gambarannya
dalam tabel berikut.
Mengetahui |
Memahami |
Mengkritisi |
Waktu belajar siswa sekitar lima jam per hari. |
Kesadaran belajar
remaja Indonesia semakin
meningkat |
Perlu kepedulian
pihak orangtua dan pemerintah |
Dengan demikian, fungsi dari keberadaan editorial lebih kompleks
daripada berita. Apabila membaca berita kita sekadar mengetahui adanya suatu
peristiwa, dengan membaca editorial kita pun
akan lebih memahami dan bisa bersikap
kritis. Hal ini karena di dalam
editorial ada pendapat-pendapat (penulis,
redaksi) yang bisa
memperjelas pemahaman kita
tentang peristiwa/keadaan yang menjadi ulasannya. Dengan sering membaca ataupun
menyimak editorial kita diharapkan lebih bijak di dalam menanggapi suatu berita;
lebih dewasa di dalam menghadapi suatu persoalan yang terjadi di lingkungan
sekitar kita.
Editorial termasuk ke dalam jenis teks
argumentatif, seperti halnya
eksposisi, ulasan, dan teks-teks sejenis diskusi. Dengan demikian, struktur
umum dari editorial adalah sebagai berikut.
a. Pengenalan isu sebagai
pendahuluan
teks,
yakni
berupa
sorotan
peristiwa
yang
mengandung suatu persoalan aktual. Dalam contoh di atas, fakta yang dimaksud adalah
peristiwa tukar guling SLTP 56, niat sebuah yayasan menjual
sekolah miliknya di Kota
Bandung.
b. Penyampaian argumen‑argumen sebagai pembahasan, yakni berupa
tanggapan-
tanggapan redaktur dari media yang bersangutan berkenaan dengan peristiwa, kejadian,
atau persoalan aktual. Dalam teks tersebut,
bagian ulasan dinyatakan dalam paragraf
ke-2 sampai paragraf
ke-6. Di dalam
ulasannya, redaktur antara
lain mengatakan bahwa peristiwa
itu merupakan wujud dari kapitalisme pendidikan. Dalam bagian ini, penulis
(redaktur) dapat pula menunjukkan keberpihakannya, entah itu kepada warga tertentu, pemerintah, pengusaha, ataupun
pihak-pihak lainnya. Dalam persoalan
ini, tampak bahwa redaktur berpihak pada warga yang hak-haknya terpinggirkan. Redaktur kemudian mengkritik
atau menyalahkan pemerintah yang seolah-olah tidak berdaya di dalam menghadapi
arus kapitalisme.
c. Kesimpulan, saran ataupun rekomendasi sebagai penutup,
berupa pernyataan dalam
menyelesaikan persoalan yang dikemukakan sebelumnya. Dalam teks itu, saran-saran
redaktur dinyatakan dalam paragraf ke-7-8. Saran yang
dimaksud berupa kompromi, yakni berdamai dengan kapitalisme, perlunya
persiapan dan langkah
antisipatis terhadap kekuatan
yang tak terbendung itu.
Berikut contoh struktur editorial lainnya.
Teks |
Bagian |
Penjelasan |
Buruknya Pelayanan Pendidikan |
Judul |
|
Desentralisasi yang sudah lima belas tahun dilaksanakan, saat
ini dianggap sedang
menuju ke arah kegagalan. Salah satu indikator
yang ditunjuk adalah pelaksanaan demokrasi
dengan melakukan pemilihan
langsung kepala daerah, yang hasilnya, melahirkan pimpinan yang korup dan
tidak kompeten. Itulah antara lain yang diungkap
oleh Tim Visi Indonesia 2033 melalui sebuah
diskusi yang digelar kemarin. Sebagaimana dikemukakan salah satu pembicara dari ITS Surabaya, Daniel Rosyid, akibat
lahirnya pimpinan korup dan tak kompeten ini, warga gagal mendapatkan pelayanan publik yang memadai. Apa yang diungkap Tim Visi Indonesia 2033 ini, rasanya
sudah menjadi rahasia umum, merupakan masalah yang sejak lama
sudah dirasakan masyarakat. Kendati demikian,
diskusi
yang
digelar Tim Visi
ini kemarin, memang sangat tepat sebagai forum reaktualisasi masalah yang dihadapi masyarakat
sehari-hari yang sudah sejak lama terjadi. |
Pengenalan isu |
Pemilihan kepala daerah yang melahirkan pemimpin korup dan tidak kompeten |
Seperti biasanya, masalah yang lama terjadi, berulang-ulang dan
tak
ada
perbaikan
sama
sekali -
sementara itu, kapasitas pimpinan yang ada tak mampu membawa perubahan —
kecenderungannya akan menjadi masalah biasa yang tak dianggap lagi sebagai
masalah. Buruknya pelayanan
kepada warga adalah
masalah lama yang terus terjadi berulang-ulang dan karenanya, banyak kepala
daerah menganggap hal
tersebut bukan lagi sebagai masalah. Masyarakat banyak pun, menyerah “pasrah
bongkok-an’’ tenggelam dalam lautan gerutu. Banyaknya jumlah kepala
daerah yang tersangkut perkara korupsi, juga sudah
lama menjadi isu yang mengusik perhatian publik. Sejak 2004 hingga 2012,
lebih dari 175 kepala daerah yang terdiri atas 17 gubernur dan 158 bupati dan
wali kota menjalani pemeriksaan di lembaga antikorupsi ini. Ini berarti lebih
dari separuh (50 persen) kepala daerah tingkat satu terseret kasus korupsi.
Sampai November, angkanya terus
bertambah, mencapai 309. |
Argumen- argumen |
• Pelayanan
pemerintah kepada warganya buruk • Kepala
daerah banyak tersangkut korupsi |
Demikian juga terhadap buruknya pelayanan publik yang dirasakan masyarakat selama ini. Terjadi lama, dan berulang, tak ada
perbaikan. Lalu, menjadi biasa. Itu sebabnya kita tak heran atau kaget ketika
Ombudsman, mengungkapkan, dinas pendidikan menjadi satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) provinsi yang rawan
pungutan liar. Kerawanan muncul karena 22 dinas pendidikan
provinsi yang diteliti tak menerapkan standar pelayanan berdasarkan Undang-
Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pertanyaannya, siapa anggota masyarakat yang tidak mengeluhkan
sistem pelayanan yang diberikan dunia pendidikan selama ini? Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, misalnya, sudah sejak tahun
lalu, muncul keresahan di tengah masyarakat
yang mendiami pinggiran
ibu kota. Secara administratif mereka adalah penduduk Bekasi, Bogor, Depok, atau Tangerang. Akan tapi, secara fisik karena di sekitar tempat tinggal mereka sekolah
sangat kurang, anak-anak mereka pun disekolahkan ke Jakarta. Namun, kebijakan yang muncul kemudian, mereka didiskriminasi. Contoh, anak-anak yang nonpenduduk DKI, katakanlah Bekasi, yang ingin masuk
ke SMA di
Jakarta setelah lulus SMP,
diberi kesempatan mengikuti tes hanya satu putaran. Jika dalam satu putaran tes mereka
tak lulus, tak ada pilihan
yang nyangkut, anak-anak itu selesai. Tak ada kesempatan untuk mengikuti tes lagi sebagaimana anak-anak penduduk
DKI. Ke mana mereka akan bersekolah? Tak ada peluang,
karena di Bekasi pun mereka ditolak
karena SMP asalnya di Jakarta. |
|
|
Diskriminasi lain adalah untuk masuk SMA tertentu, bagi
anak-anak DKI misalnya disyaratkan memiliki
nilai NEM 36,
sedangkan bagi anak- anak korban diskriminasi tadi diharuskan memiliki NEM lebih tinggi
lagi, yaitu 37. Inilah contoh buruk pelayanan yang diciptakan dinas
pendidikan, yang mempersetankan hak-hak rakyat
dan pelayanan yang berkeadilan. Silakan
ombudsman. (Sumber: Harian Terbit) |
Rekomendasi |
Saran kepada
ombudsman untuk menangani buruknya pelayanan pemerintah |
3.
Kaidah Teks Editorial
Kaidah atau
karakteristik umum editorial adalah sebagai berikut.
a. Ulasan terhadap
fenomena atau peristiwa
aktual yang menjadi sorotan khalayak. Dalam
contoh di atas, fenomena yang
dimaksud berupa tukar guling dan penjualan
sekolah terhadap pihak swasta.
b. Penulisnya adalah redaksi dari media itu sendiri.
Adapun kalau ditulis oleh pihak lain,
teks tersebut dikelompokkan ke dalam artikel biasa.
Adapun kaidah dari
segi kebahasaan, editorial memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Adanya penggunaan ungkapan-ungkapan retoris. Dalam
teks di atas,
ungkapan-ungkapan yang dimaksud, antara lain, seperti berikut.
1) Lalu, di mana idealisme pendidikan?
2) Apa arti pendidikan adalah
hak semua warga negara
(baik yang punya
akses terhadap kapital maupun
tidak)?
Cara itu digunakan untuk menarik perhatian
pembaca (khalayak) sehingga
tergugah untuk melanjutkan
pembahasan atas isu yang disorotinya.
b. Banyak menggunakan
kata-kata
populer
sehingga
mudah
bagi
khalayak
untuk
mencernanya. Kata-kata yang dimaksud, antara lain, adalah ribut‑ribut, ongkos,
tengok, suka, tak suka, geliat, berlebih,
enggan, ekstra keras, pas.
c. Banyaknya kata ganti
tunjuk yang merujuk
pada waktu, tempat,
peristiwa, atau hal lainnya yang menjadi fokus ulasan.
Contoh:
1) Desentralisasi yang sudah lima belas tahun dilaksanakan, saat ini dianggap sedang
menuju ke arah kegagalan.
2) Itulah antara lain yang diungkap
oleh Tim Visi Indonesia 2033 melalui sebuah diskusi yang digelar kemarin.
3) Apa yang diungkap
Tim Visi Indonesia
2033 ini, rasanya
sudah menjadi rahasia umum, merupakan masalah yang
sejak lama sudah dirasakan masyarakat.
4) Kendati demikian, diskusi yang digelar
Tim Visi ini
kemarin, memang sangat tepat
sebagai forum reaktualisasi masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari yang
sudah sejak lama terjadi.
d. Banyaknya penggunaan konjungsi
kausalitas, seperti sebab, karena, sebab, oleh sebab itu. Hal ini terkait dengan penggunaan sejumlah argumen yang dikemukakan redaktur
berkenaan dengan masalah yang dikupasnya. Contoh:
1) Buruknya pelayanan kepada
warga, adalah masalah lama yang terus
terjadi berulang- ulang dan karenanya, banyak kepala daerah menganggap hal tersebut bukan lagi sebagai masalah.
2) Itu sebabnya kita tak heran atau kaget ketika Ombudsman,
mengungkapkan, dinas pendidikan
menjadi satuan perangkat kerja daerah (SKPD) provinsi yang rawan pungutan liar.
3) Kerawanan muncul karena 22 dinas pendidikan provinsi yang diteliti tak menerapkan
standar pelayanan berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
4) Tak ada peluang,
karena di Bekasi pun mereka ditolak karena SMP asalnya
di
Jakarta.
e. Banyaknya penggunaan konjungsi pertentangan, seperti
akan tetapi,
namun. Hal itu
terkait dengan masalah yang diangkat dalam editorial yang
bersifat pro dan kontra.
1) Akan tetapi, secara fisik karena
di sekitar tempat
tinggal mereka sekolah
sangat
kurang, anak-anak mereka pun disekolahkan ke Jakarta.
2) Namun, kebijakan yang muncul
kemudian, mereka didiskriminasi.