Saturday, 6 November 2021

Fungsi, Struktur, dan Kaidah Teks Editorial

 Fungsi, Struktur,  dan Kaidah Teks Editorial


1.  Fungsi Teks Editorial

Editorial merupakan teks dalam suatu media massa yang menyatakan pandangan media yang bersangkutan terhadap suatu permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, di dalam editorial selalu ada fakta dan opini.

Editorial mengemukakan masalah aktual di masyarakat. Oleh redaksi, media yang bersangkutan, masalah itu diulas dengan disertai tanggapan-tanggapan. Isi tanggapan itu mungkin berupa pujian, kritikan, sindiran, ataupun saran.

Perhatikanlah kedua kalimat di bawah ini.

a.    Jumlah siswa di kelas itu bertambah dari semula 30 orang menjadi 32 orang.

b. Perlu ada perubahan formasi tempat duduk agar suasana belajar di kelas ini lebih menyenangkan.

Kalau kita perhatikan dengan cermat, isi dari kedua pernyataan itu berbeda. Pernyataan (a) menyampaikan fakta atau informasi. Adapun, pernyataan kedua menyampaikan pendapat atau saran terhadap fakta itu. Dengan memerhatikan sifat dari masing-masing pernyataan,

pernyataan (a) disebut dengan fakta dan pernyataan (b) disebut dengan pendapat atau opini.

a. Fakta adalah hal, keadaan, peristiwa yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang benar- benar terjadi. Dengan kata lain, fakta merupakan potret tentang keadaan atau peristiwa. Oleh karena itu, fakta sulit terbantahkan karena dapat dilihat, didengar, atau diketahui oleh banyak pihak. Namun, fakta bisa saja berubah apabila ditemukan fakta baru yang lebih jelas dan akurat.

b.    Opini adalah pendapat, pikiran, ataupun pendirian. Opini belum pasti benar adanya.

Pendapat pribadi itu dapat salah atau benar, bukan? Pendapat seseorang juga dapat berbeda dengan pendapat lainnya. Suatu pendapat semakin mendekati kebenaran apabila ditunjang oleh fakta yang kuat dan meyakinkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fakta berfungsi sebagai dasar bagi suatu pendapat. Penulis mengemukakan fakta terlebih dahulu; kemudian berpendapat. Mungkin pula fakta berfungsi untuk memperjelas pendapat. Dalam hal ini, seseorang berpendapat terlebih dahulu, kemudian menyertainya dengan fakta-fakta. Berdasarkan pengertian dan contoh-contoh di atas, kita sekarang bisa membedakan fakta dengan opini.


Dalam editorial ataupun tajuk rencana suatu surat kabar atau majalah, fakta dan opini selalu muncul bersamaan. Pendapat-pendapat yang dikemukakannya itu bisa merupakan tanggapan atas fakta aktual yang terjadi di masyarakat yang kemudian menjadi sorotan bagi media itu.

Perhatikanlah contoh berikut.

 

Fakta

Opini

1.    Kini rata-rata waktu yang digunakan setiap siswa untuk belajar sekitar lima jam per hari.

2.    Sementara itu, pada tahun sebelumnya menurut survei sebuah LSM, waktu belajar mereka di luar kegiatan

sekolah hanya 2-3 jam per hari.

Kesadaran akan pentingnya belajar pada kalangan remaja Indonesia semakin meningkat, terutama apabila dilihat dari jumlah jam belajarnya. Kesadaran itu perlu ditunjang oleh kepedulian pihak orang

tua dan pemerintah, misalnya dengan menyediakan bahan bacaan yang bermutu dan sesuai dengan taraf perkembangan psikologi mereka.

Dari contoh di atas tampak bahwa opini yang dikemukakan itu merupakan tanggapan atas fakta-fakta yang ada. Dapat pula sebaliknya, pendapat yang dikemukakan itu diperkuat oleh fakta-fakta. Dengan adanya fakta-fakta menjadikan opini itu menjadi lebih kuat dan meyakinkan.

Fakta dan opini bisa menjadikan wawasan pembacanya bertambah luas. Lebih dari sekadar mengetahui tentang ada-tidaknya suatu peristiwa. Dengan membaca editorial, kita pun dapat lebih memahami sekaligus dapat menilai (bersikap kritis) terhadap suatu peristiwa. Perhatikanlah gambarannya dalam tabel berikut.

 

Mengetahui

Memahami

Mengkritisi

Waktu belajar siswa sekitar lima jam per hari.

Kesadaran belajar remaja

Indonesia semakin meningkat

Perlu kepedulian pihak orangtua dan pemerintah

Dengan demikian, fungsi dari keberadaan editorial lebih kompleks daripada berita. Apabila membaca berita kita sekadar mengetahui adanya suatu peristiwa, dengan membaca editorial kita pun akan lebih memahami dan bisa bersikap kritis. Hal ini karena di dalam editorial  ada  pendapat-pendapat  (penulis,  redaksi)  yang  bisa  memperjelas  pemahaman kita tentang peristiwa/keadaan yang menjadi ulasannya. Dengan sering membaca ataupun menyimak editorial kita diharapkan lebih bijak di dalam menanggapi suatu berita; lebih dewasa di dalam menghadapi suatu persoalan yang terjadi di lingkungan sekitar kita.


2. Struktur Teks Editorial

Editorial termasuk ke dalam jenis teks argumentatif, seperti halnya eksposisi, ulasan, dan teks-teks sejenis diskusi. Dengan demikian, struktur umum dari editorial adalah sebagai berikut.

a.    Pengenalan  isu sebagai  pendahuluan  teks,  yakni  berupa  sorotan  peristiwa  yang

mengandung suatu persoalan aktual. Dalam contoh di atas, fakta yang dimaksud adalah

peristiwa tukar guling SLTP 56, niat sebuah yayasan menjual sekolah miliknya di Kota

Bandung.

b.    Penyampaian   argumen‑argumen  sebagai   pembahasan,  yakni   berupa   tanggapan-

tanggapan redaktur dari media yang bersangutan berkenaan dengan peristiwa, kejadian,

atau persoalan aktual. Dalam teks tersebut, bagian ulasan dinyatakan dalam paragraf ke-2  sampai  paragraf  ke-6.  Di  dalam  ulasannya,  redaktur  antara  lain  mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan wujud dari kapitalisme pendidikan. Dalam bagian ini, penulis (redaktur) dapat pula menunjukkan keberpihakannya, entah itu kepada warga tertentu, pemerintah, pengusaha, ataupun pihak-pihak lainnya. Dalam persoalan ini, tampak bahwa redaktur berpihak pada warga yang hak-haknya terpinggirkan. Redaktur kemudian mengkritik atau menyalahkan pemerintah yang seolah-olah tidak berdaya di dalam menghadapi arus kapitalisme.

c.    Kesimpulan, saran ataupun rekomendasi sebagai penutup, berupa pernyataan dalam

menyelesaikan persoalan yang dikemukakan sebelumnya. Dalam teks itu, saran-saran


redaktur dinyatakan dalam paragraf ke-7-8. Saran yang dimaksud berupa kompromi, yakni berdamai dengan kapitalisme, perlunya persiapan dan langkah antisipatis terhadap kekuatan yang tak terbendung itu.



Berikut contoh struktur editorial lainnya.

 

Teks

Bagian

Penjelasan

Buruknya Pelayanan Pendidikan

Judul

 

Desentralisasi yang sudah lima belas tahun dilaksanakan, saat ini dianggap sedang menuju ke arah kegagalan. Salah satu indikator yang ditunjuk adalah pelaksanaan demokrasi dengan melakukan pemilihan langsung kepala daerah, yang hasilnya, melahirkan pimpinan yang korup dan tidak kompeten.

Itulah antara lain yang diungkap oleh Tim Visi Indonesia 2033 melalui sebuah diskusi yang digelar kemarin. Sebagaimana dikemukakan salah satu pembicara dari ITS Surabaya, Daniel Rosyid, akibat lahirnya pimpinan korup dan tak kompeten ini, warga gagal mendapatkan pelayanan publik yang memadai.

Apa yang diungkap Tim Visi Indonesia 2033 ini, rasanya sudah menjadi rahasia umum, merupakan masalah yang sejak lama sudah dirasakan masyarakat. Kendati  demikian,  diskusi  yang  digelar  Tim  Visi ini kemarin, memang sangat tepat sebagai forum reaktualisasi masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari yang sudah sejak lama terjadi.

Pengenalan isu

Pemilihan kepala daerah yang melahirkan pemimpin

korup dan tidak kompeten

Seperti biasanya, masalah yang lama terjadi, berulang-ulang  dan  tak  ada  perbaikan  sama  sekali

- sementara itu, kapasitas pimpinan yang ada tak mampu membawa perubahan — kecenderungannya akan menjadi masalah biasa yang tak dianggap lagi sebagai masalah.

Buruknya pelayanan kepada warga adalah masalah lama yang terus terjadi berulang-ulang dan karenanya, banyak   kepala   daerah   menganggap   hal   tersebut bukan lagi sebagai masalah. Masyarakat banyak pun, menyerah “pasrah bongkok-an’ tenggelam dalam lautan gerutu.

Banyaknya jumlah kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi, juga sudah lama menjadi isu yang mengusik perhatian publik. Sejak 2004 hingga 2012, lebih dari 175 kepala daerah yang terdiri atas 17 gubernur dan 158 bupati dan wali kota menjalani pemeriksaan di lembaga antikorupsi ini. Ini berarti lebih dari separuh (50 persen) kepala daerah tingkat satu terseret kasus korupsi. Sampai November, angkanya terus bertambah, mencapai 309.

Argumen- argumen

 Pelayanan pemerintah kepada warganya buruk

 Kepala daerah banyak tersangkut korupsi


 

 

Demikian juga terhadap buruknya pelayanan publik yang dirasakan masyarakat selama ini. Terjadi lama, dan berulang, tak ada perbaikan. Lalu, menjadi biasa. Itu sebabnya kita tak heran atau kaget ketika Ombudsman, mengungkapkan, dinas pendidikan menjadi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) provinsi yang rawan pungutan liar. Kerawanan muncul karena 22 dinas pendidikan provinsi yang diteliti tak menerapkan standar pelayanan berdasarkan Undang- Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pertanyaannya, siapa anggota masyarakat yang tidak mengeluhkan sistem pelayanan yang diberikan dunia pendidikan selama ini?

Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, misalnya, sudah sejak tahun lalu, muncul keresahan di tengah masyarakat   yang   mendiami   pinggiran   ibu   kota. Secara administratif mereka adalah penduduk Bekasi, Bogor,  Depok,  atau  Tangerang.  Akan  tapi,  secara fisik karena di sekitar tempat tinggal mereka sekolah sangat kurang, anak-anak mereka pun disekolahkan ke Jakarta. Namun, kebijakan yang muncul kemudian, mereka didiskriminasi.

Contoh, anak-anak yang nonpenduduk DKI, katakanlah Bekasi, yang ingin masuk ke SMA di Jakarta setelah lulus SMP, diberi kesempatan mengikuti tes hanya satu putaran. Jika dalam satu putaran tes mereka tak lulus, tak ada pilihan yang nyangkut, anak-anak itu selesai. Tak ada kesempatan untuk mengikuti tes lagi sebagaimana anak-anak penduduk DKI. Ke mana mereka akan bersekolah? Tak ada peluang, karena di Bekasi pun mereka ditolak karena SMP asalnya di Jakarta.

 

 

Diskriminasi lain adalah untuk masuk SMA tertentu, bagi anak-anak DKI misalnya disyaratkan memiliki   nilai   NEM   36,   sedangkan   bagi   anak- anak korban diskriminasi tadi diharuskan memiliki NEM lebih tinggi lagi, yaitu 37. Inilah contoh buruk pelayanan yang diciptakan dinas pendidikan, yang mempersetankan hak-hak rakyat dan pelayanan yang

berkeadilan.  Silakan  ombudsman.  (Sumber:  Harian

Terbit)

Rekomendasi

Saran kepada ombudsman untuk menangani buruknya pelayanan pemerintah

  

3.  Kaidah Teks Editorial

Kaidah atau karakteristik umum editorial adalah sebagai berikut.

a.    Ulasan terhadap fenomena atau peristiwa aktual yang menjadi sorotan khalayak. Dalam contoh di atas, fenomena yang dimaksud berupa tukar guling dan penjualan sekolah terhadap pihak swasta.

b.    Penulisnya adalah redaksi dari media itu sendiri. Adapun kalau ditulis oleh pihak lain, teks tersebut dikelompokkan ke dalam artikel biasa.

Adapun kaidah dari segi kebahasaan, editorial memiliki karakteristik sebagai berikut.

a.    Adanya penggunaan ungkapan-ungkapan retoris. Dalam teks di atas, ungkapan-ungkapan yang dimaksud, antara lain, seperti berikut.

1)   Lalu, di mana idealisme pendidikan?

2)   Apa arti pendidikan adalah hak semua warga negara (baik yang punya akses terhadap kapital maupun tidak)?

Cara itu digunakan untuk menarik perhatian pembaca (khalayak) sehingga tergugah untuk melanjutkan pembahasan atas isu yang disorotinya.

 

b.    Banyak  menggunakan  kata-kata  populer  sehingga  mudah  bagi  khalayak  untuk mencernanya. Kata-kata yang dimaksud, antara lain, adalah ribut‑ribut, ongkos, tengok, suka, tak suka, geliat, berlebih, enggan, ekstra keras, pas.

c.    Banyaknya kata ganti tunjuk yang merujuk pada waktu, tempat, peristiwa, atau hal lainnya yang menjadi fokus ulasan.

Contoh:

1)   Desentralisasi yang sudah lima belas tahun dilaksanakan, saat ini dianggap sedang menuju ke arah kegagalan.

2)   Itulah antara lain yang diungkap oleh Tim Visi Indonesia 2033 melalui sebuah diskusi yang digelar kemarin.

3)   Apa yang diungkap Tim Visi Indonesia 2033 ini, rasanya sudah menjadi rahasia umum, merupakan masalah yang sejak lama sudah dirasakan masyarakat.

4)   Kendati demikian, diskusi yang digelar Tim Visi ini kemarin, memang sangat tepat sebagai forum reaktualisasi masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari yang sudah sejak lama terjadi.

d.    Banyaknya penggunaan konjungsi kausalitas, seperti sebab, karena, sebab, oleh sebab itu. Hal ini terkait dengan penggunaan sejumlah argumen yang dikemukakan redaktur

berkenaan dengan masalah yang dikupasnya. Contoh:

1)   Buruknya pelayanan kepada warga, adalah masalah lama yang terus terjadi berulang- ulang dan karenanya, banyak kepala daerah menganggap hal tersebut bukan lagi sebagai masalah.

2)   Itu sebabnya kita tak heran atau kaget ketika Ombudsman, mengungkapkan, dinas pendidikan menjadi satuan perangkat kerja daerah (SKPD) provinsi yang rawan pungutan liar.


 

 

3)   Kerawanan muncul karena 22 dinas pendidikan provinsi yang diteliti tak menerapkan standar pelayanan berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

4)   Tak ada peluang, karena di Bekasi pun mereka ditolak karena SMP asalnya di

Jakarta.

e.    Banyaknya penggunaan konjungsi pertentangan, seperti akan tetapi, namun. Hal itu

terkait dengan masalah yang diangkat dalam editorial yang bersifat pro dan kontra.

1)   Akan tetapi, secara fisik karena di sekitar tempat tinggal mereka sekolah sangat

kurang, anak-anak mereka pun disekolahkan ke Jakarta.

2)   Namun, kebijakan yang muncul kemudian, mereka didiskriminasi.

 

 


No comments:

Post a Comment