Wednesday 13 January 2016

Memahami Ciri Kebahasaan Teks Cerita Fiksi dalam Novel

Nyanyi Sunyi dari Indragiri karya Hary B. Kori’un secara jelas menyingkap kondisi sosial masyarakat Provinsi Riau dewasa ini. Dalam novel tersebut terdapat gambaran keterbelakangan dan kemiskinan yang ada di Provinsi Riau. Dengan gaya yang khas dari pengarang dalam menyampaikan
ide dan pikirannya, membuat novel ini sangat menarik untuk dianalisis secara mendalam. Novel peraih penghargaan utama Ganti Award 2004-nama sebuah penghargaan penulisan novel yang diselenggarakan oleh Yayasan Bandar Serai di Pekanbaru, Provinsi Riau (Ensiklopedia Sastra Riau, 2011)-ini diterbitkan oleh Gurindam Press pada Desember 2004. Novel dengan tebal 102 halaman ini terdiri dari empat bagian, yaitu (1) Prolog, (2) Alia, (3) Sarah, dan (4) Epilog.
 
Novel adalah salah satu karya fiksi berbentuk prosa. Novel memiliki ciri ditulis dengan gaya narasi, yang terkadang dicampur deskripsi untuk menggambarkan suasana; bersifat realistis, artinya merupakan tanggapan pengarang terhadap situasi lingkungannya; bentuknya lebih panjang, biasanya lebih dari 10.000 kata; dan alur ceritanya cukup kompleks.Agar lebih memahami berbagai unsur yang membangun novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri (NSdI), seperti tema, tokoh dan penokohan, latar, konflik, alur, dan sebagainya, berikut akan diberikan cuplikan isi novel tersebut. Setelah mengetahui berbagai unsur yang membangun novel tersebut, kalian akan dengan mudah mengurai komplikasi yang ada di dalam novel.
novel
Tema
Tema adalah inti atau ide pokok dalam cerita. Tema merupakan awal  tolak pengarang dalam menyampaikan cerita. Tema suatu novel menyangkut segala persoalan dalam kehidupan manusia, baik masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, dan sebagainya.

Untuk menemukan tema, terlebih dahulu harus diidentifikasi berbagai masalah yang ditemukan dalam cerita. Masalah inilah yang kemudian akan menggiring pada penemuan tema sebuah novel. Maka identifikasikanlah berbagai masalah yang kalian temukan dalam novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri.
  1. Persoalan dimulai pada April 1998, saat keadaan politik memburuk akibat jatuhnya harga rupiah. Keadaan tersebut menyebabkan harga getah karet dan kayu melambung tinggi.
  2. PT Riau Maju Timber melakukan penebangan kayu hampir sampai perbatasan kampung sehingga mengakibatkan beberapa hutan di kampung sebelah sudah lenyap.
  3. Panas terik sepanjang tahun mengakibatkan beras menjadi langka, pohon karet tak mengeluarkan getah karena tak tersiram air.
  4. Penebangan hutan yang tidak terkontrol dan pembakaran yang dilakukan membuat bencana itu selalu datang.
  5. Dampak penebangan hutan menyebakan banjir tiap tahun dan kemarau membakar dan mengeringkan sawah ladang. Hingga suatu ketika banjir bandang menerjang rumah dan menghanyutkan abah Kalid. Kematian seorang ayah semakin menyalakan api dendam yang tumbuh di dada Kalid. 
  6. Kalid membakar base camp milik PT Riau Maju Timber yang menyebabkan masyarakat banyak menderita akibat eksplorasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. 
  7. Khalid bersama teman-teman kemudian masuk penjara yang mungkin membuat umi tertekan batin karena anak satusatunya berurusan dengan masalah kriminal dan peristiwa tersebut mengakibatkan umi meninggal hanya beberapa hari sebelum khalid keluar dari penjara.
  8. Khalid datang ke kantor Dinas Kehutanan di Rengat ketika libur kuliah dan mengatakan kepada mereka bahwa aktivitas PT Riau Maju Timber di kampung kami harus dihentikan. Aktivitas tersebut menyebabkan hutan habis dan banjir selalu datang menenggelamkan kampung.
  9. Ketika hakim selesai membaca keputusan, kembali, mereka kalap dan mengatakan bahwa hukuman itu tidak adil untuk Kalid.
  10. Khalid mulai memahami pedihnya menjadi orang miskin adalah bagaimana supaya kami semua di kampung diperhatikan; sekolah dibangun dengan layak, jalan dan jembatan dibuat dan orang-orang di kampung kami tidak bermental terbelakang seperti itu.

Tema sifatnya mengikat keseluruhan masalah yang ada dalam cerita. Setelah semua permasalahan teridentifikasi dengan baik, novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri karya Hary B Kori’un ini merupakan karya besar yang mampu menampilkan tema lingkungan dengan penggambaran yang dahsyat. Setidaknya pembaca diajak untuk melihat realitas di tengah masyarakat Riau dengan kaca mata fiksi.

Hubungan Kausalitas
Jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian polah para tokoh yang berusaha memecahkan konflik dalam sebuah cerita disebut alur. Alur, yang merupakan perpaduan semua unsur pembangun cerita sehingga menjadi kerangka utama, mempunyai penekanan pada hubungan kausalitas tiap peristiwa yang ada. Setelah kalian mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam cerita,  hubungan kausalitas dapat dilihat dalam kalimat seperti di bawah ini.
  1. Keadaan politik yang memburuk menyebabkan harga rupiah yang anjlok, sehingga harga karet dan kayu melambung tinggi. Hal ini menyebabkan PT Riau Maju Timber “merampas” hutan masyarakat Rimbo Pematang.
  2. Eksplorasi hutan yang berlebihan menyebabkan kekeringan di musim panas dan banjir di musim hujan.
  3. PT Riau Maju Timber melakukan penebangan kayu hampir sampai perbatasan kampung sehingga mengakibatkan beberapa hutan di kampung sebelah sudah lenyap.
  4. Panas terik sepanjang tahun mengakibatkan beras menjadi langka, pohon karet tak mengeluarkan getah karena tak tersiram air.
  5. Penebangan hutan yang tidak terkontrol dan pembakaran yang dilakukan membuat bencana itu selalu datang.
  6. Dampak penebangan hutan menyebakan banjir tiap tahun dan kemarau membakar dan mengeringkan sawah ladang. Hingga suatu ketika banjir bandang menerjang rumah dan menghanyutkan abah Kalid. Kematian seorang ayah semakin menyalakan api dendam yang tumbuh di dada Kalid. 
  7. Kalid membakar base camp milik PT Riau Maju Timber yang menyebabkan masyarakat banyak menderita akibat eksplorasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. 
  8. Khalid bersama teman-teman kemudian masuk penjara yang mungkin membuat umi tertekan batin karena anak satusatunya berurusan dengan masalah kriminal dan peristiwa tersebut mengakibatkan umi meninggal hanya beberapa hari sebelum khalid keluar dari penjara.
  9. Khalid datang ke kantor Dinas Kehutanan di Rengat ketika libur kuliah dan mengatakan kepada mereka bahwa aktivitas PT Riau Maju Timber di kampung kami harus dihentikan. Aktivitas tersebut menyebabkan hutan habis dan banjir selalu datang menenggelamkan kampung.

Alur
Alur / Plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu pertama alur maju ( progesif ) yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan yang kedua alur mundur ( flash back progesif ) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung. Plot / alur menampilkan kejadian – kejadian yang mengandung konflik maupun menarik bahkan mencekam pembaca.

Untuk mengetahui bentuk alur sebuah cerita, perlu disimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya tersebut. Berbagai bentuk alur dalam cerita rekaan, seperti alur progresif atau alur lurus, dan alur regresif (flashback) atau sorot balik, bahkan ada alur yang bolak-balik. Baik cerpen maupun novel, memiliki salah satu bentuk alur tersebut. Berikut ini adalah beberapa cuplikan tambahan yang akan membantu melihat alur cerita yang terdapat dalam novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri. Bacalah cuplikan berikut secara cermat dan perhatikan nomor halaman setiap kutipan, karena akan membantu kalian menyusun alur cerita dalam novel NSdI.
  1. Guntingan koran itu masih ada di mejanya. Tidak semua koran menulis tentang peristiwa itu, hanya beberapa. Dan yang beberapa itulah yang membuatnya tersentak. Ada yang nyeri dalam dadanya, ada yang hampa dalam jiwanya. Benarkah berita itu? Tidakkah salah koran-koran itu menulis tentang hilangnya lelaki itu terbawa arus Sungai Indragiri yang menenggelamkan beberapa kampung di Indragiri? (NSdI, 2004:1).
  2. Ketika kemudian aku mendengar berita itu: engkau hilang terseret arus sungai dan mayatmu tak ditemukan dalam sebuah banjir bandang yang melanda kampungmu, aku sudah kehabisan air mata, Kalid. Aku yakin dan percaya, seperti kejadian-kejadian sebelumnya, engkau selalu lolos dari apa yang diperkirakan orang. Entahlah, entah kapan lelaki sepertimu akan mati, atau engkau memang memiliki ilmu yang membuatmu tak mati, tak terdeteksi aparat, bisa membuat semua orang mencintaimu dan segala ilmu lainnya? (NSdI, 2004:97—98)
  3. Aku tak yakin, meski aku mempercayainya: kamu bisa melakukan segalanya seperti yang engkau inginkan. Benarkah engaku telah mati? (NSdI: 2004:98)
Kesimpulan : Novel tersebut menggunakan alur mundur. Alur mundur adalah proses jalannya cerita secara tidak urut. Biasanya pengarang menyampaikan ceritanya dimulai dari konflik menuju penyelesaian, kemudian menceritakan kembali latar belakang timbulnya konflik tersebut.

Pada umumnya, bagian awal teks cerita fiksi berisikan paparan dan sedikit ajakan yang akan mengantarkan pada permasalahan sebenarnya. Pada bagian tengah tekslah komplikasi terjadi. Setelah komplikasi berhasil diuraikan dan dievaluasi, pada bagian akhir cerita biasanya ditutup dengan penyelesaian.

Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh, pengarang dapat juga menyebutkannya langsung, misalnya si A itu penyabar, si B itu murah hati. Penjelasan karakter tokoh dapat pula melalui gambaran fisik dan perilakunya, lingkungan kehidupannya, cara bicaranya, jalan pikirannya, ataupun melalui penggambaran oleh tokoh lain.

Sebuah teks cerita fiksi terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan, sehingga dapat terlihat ide yang disampaikan pengarang kepada pembacanya. Teks cerita fiksi ini merupakan karya sastra berbentuk prosa. Mengingat hakikat prosa adalah narasi (cerita), maka di dalamnya ada pelaku cerita (tokoh), rangkaian cerita (alur), pokok masalah yang diceritakan (tema), siapa yang menyampaikan cerita (pencerita), serta tempat, waktu, dan suasanan seperti apa cerita itu berlangsung (latar). Itulah yang kemudian disebut unsur intrinsik prosa atau teks cerita fiksi. Berikut akan diberikan nukilan novel yang menggambarkan penokohan Kalid.
  1. Dia senang bisa memandang lelaki itu; melihat dari dekat wajahnya yang tidak terlalu halus-pori-porinya terlihat dan rahangnya yang menyembul.... (NSdI, 2004:4)
  2. Kubiarkan cambang, kumis, dan jenggotku memanjang, juga rambutku, supaya tak ada orang yang mengenaliku, meskipun aku yakin tak ada orang yang mengenaliku di kota ini meski kasusku dimuat di beberapa koran. (NSdI, 2004:63)
  3. Rambutnya gondrong awut-awutan, hampir seluruh mukanya ditutupi bulu lebat.... (NSdI, 2004:75)
  4. Tetapi aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa tatapan matanya yang sangat tajam ketika kami pertama kali bertemu-bukan bertemu, aku yang memandangnya dari kejauhan-menjelang senja beberapa waktu sebelum huru hara itu, telah mengubah seluruh tatanan pemikiranku selama ini. (NSdI, 2004:60)
  5. Aku juga pergi tanpa kata-kata, tetapi sekilas aku bisa melihat ekspresi Kalid yang dingin. Betul-betul dingin dan beku. (NSdI, 2004:6)
  6. “Begitu dong. Sekali-kali tersenyum dan tertawa. Jangan menjadi Mr. Cool, aku kan jadi kikuk terus kalau kamu selalu diam...” katanya lagi. (NSdI, 2004:83)
  7. Dia ingat lelaki itu, lelaki pemberani dan misterius. Lelaki yang mau melawan badai, membun*h beruang bahkan ketika usianya sendiri belum sepuluh tahun dan melawan kekuatan apapun yang dianggapnya salah dan merugikan orang lain. (NSdI, 2004:1-2)
  8. Dan inilah yang ingin kuceritakan di sini. Tentang laki-laki misterius yang telah merampas separuh hidupku, yang membuat aku merasa hidup dan meninggalkan banyak hal yang selama ini kumiliki. Meski untuk itu, aku juga kehilangan banyak hal... (NSdI, 2004:61)
  9. Namun dia tetap ngotot agar bisa tetap sekolah yang jaraknya sekitar 15 kilometer ke kota kecamatan. Dan untuk sampai ke sana, dia harus naik perahu ke arah hilir selama setengah jam, menyambung lagi dengan angkutan pedesaan ke arah kota kecamatan. Pulangnya, dia juga harus menempuh rute yang sama ketika pergi. (NSdI, 2004:35)
  10. Yang penting dia berangkat dulu, melihat kondisi. Kalau memang tak memungkinkan, dia akan mencari pekerjaan dulu, mengumpulkan uang, dan setelah itu baru kuliah. Dia bisa istirahat setahun tak kuliah, ini banyak dilakukan mahasiswa yang kesulitan dana. (NSdI, 2004:37)

Berdasarkan berbagai nukilan yang dberikan, diskusikanlah penokohan Kalid menurut kalian, baik ciri fisiknya maupun sifat dan sikap yang digambarkan pengarang.
  1. Kalid adalah seorang yang berperawakan keras dengan pori wajah yang agak kasar dan rahang yang menyembul.
  2. Khalid memiliki kumis, cambang, dan jenggot yang panjang.
  3. Khalid berambut gondrong dan awut-awutan dan hampir seluruh mukanya tertutup bulu.
  4. Khalid memiliki tatapan mata yang sangat tajam.
  5. Khalid memiliki ekspresi yang dingin.
  6. Khlaid adalah lelaki pemberani dan misterius.
  7. Kalid sebagai seorang lelaki yang tidak pernah menyerah menghadapi prahara kehidupan. Seorang sarjana hukum yang akhirnya menjadi korban ketidakadilan. Kalid sebagai lelaki yang tak pernah ‘mati’ hingga akhir cerita.

Perhatikan kutipan berikut dengan teliti.
Panas terik masih terus memanggang kampungnya, juga kampung-kampung lain di pinggir sungai itu. Asap mengepul dari hutan-hutan di pinggir kampung yang sudah banyak terbakar. Hampir setiap hari pula, dia selalu mendengar suara mesin penebang kayu meraung-raung tidak siang tidak malam dan beberapa hari kemudian kayu-kayu, yang sudah dirajang dengan rapi baik berbentuk papan maupun batangan segi empat dikeluarkan oleh serombongan kerbau dari hutan. Sesampai di pinggir sungai, ada orang yang mengikatnya dengan tali atau kawat dan kemudian dalam jumlah besar dialirkan ke arah hilir sungai dan dikendalikan oleh kepompong bermesin diesel. Hampir setiap hari, dalam panas yang memanggang kampung itu, hal seperti itu terjadi; raungan gergaji sepanjang hari, suara gedblar kayu tumbang, kayu yang ditarik kerbau keluar dari hutan menuju pinggir sungai, dan rombongan aliran kayu ke arah hilir. (NSdI, 2004:39—40)
Kutipan di atas berisikan gambaran suasana yang dilukiskan pengarang. Pendeskripsian suasana tersebut membuat kalian mengetahui secara detail suasana kampung yang dilukiskan pengarang sehingga pembaca seolah-olah bisa turut merasakan suasana tersebut. Berdasarkan kutipan Nyanyi Sunyi dari Indragiri halaman 39—40 di atas, tentukanlah apakah pernyataan berikut ini benar (B), salah (S), atau tidak terbukti benar salahnya (TT) dengan membubuhkan tanda centang (√) pada pilihan kalian. Untuk menentukan jawaban, kalian tidak perlu berpedoman pada pengetahuan umum atau pengetahuan yang telah kalian miliki, tetapi cukup berpedoman pada informasi yang disajikan dalam teks tersebut.
No.PernyataanBSTT
1.Hutan-hutan di pinggir kampung banyak yang terbakar.--
2.Kampung di sana menjadi panas akibat hutan yang terbakar.--
3.Kampung tersebut berada jauh dari sungai.--
4.Mesin penebang kayu hanya terdengar di siang hari.--
5.Setelah ditebang, kayu-kayu dirajang berbentuk papan maupun batangan segi empat.--
6.Orang-orang yang bekerja menebang kayu itu bekerja untuk seorang pengusaha yang dilindungi aparat.--
7.Untuk mengeluarkan kayu yang sudah dipotong dari hutan menggunakan jasa kerbau.--
8.Kerbau-kerbau membawa kayu tersebut hingga ke pinggir sungai.--
9.Setelah sampai dipinggir sungai, kemudian kayu tersebut dialirkan begitu saja ke arah hilir.--
10.Banyak orang kampung yang bekerja untuk perusahaan itu.--

Untuk melukiskan sosok dan watak tokoh, serta suasana latar belakang cerita, baik waktu maupun tempat, kalian bisa melihat pengarang menggunakan perumpamaan, yang dikenal dengan sebutan majas atau gaya bahasa. Perhatikan beberapa kutipan berikut. Tentu saja kalian masih ingat tentang gaya bahasa. Temukan dan tentukanlah gaya bahasa yang terdapat di dalamnya.

No.Kutipan Nyanyi Sunyi dari IndragiriGaya Bahasa
1.Hampir setiap hari pula, dia selalu mendengar suara mesin penebang kayu meraung-raung tidak siang tidak malam dan beberapa hari kemudian kayu-kayu, yang sudah dirajang dengan rapi baik berbentuk papan maupun batangan segi empat dikeluarkan oleh serombongan kerbau dari hutan (NSdI, 2004:40).Antitesis adalah majas yang membandingkan dua hal yang berlawanan.
2.Semuanya seperti musim kering; kemarau datang dan angin gersang menusuk-nusuk. Semuanya seperti musim basah; hujan dan badai adalah nyanyian dalam sedih dan ngilu. Semuanya seperti perih, ketika langit tak menyisakan cerita apa-apa. Semuanya menjadi sepi... (NSdI, 2004:1).Antiklimaks adalah melukiskan keadaan dari puncak kejadian sampai awalnya
3.Angin senja yang hampir habis membuat rambutnya berkibar-kibar, dan sinar matahari yang hampir tenggelam membuat rambutnya tampak hanya bayangan, seperti siluet (NSdI, 2004:100).Repetisi
Pengulangan kata-kata tertentu
4.Hampir setiap hari, dalam panas yang memanggang kampung itu, hal seperti itu terjadi; raungan gergaji sepanjang hari, suara gedblar kayu tumbang, kayu yang ditarik kerbau keluar dari hutan menuju pinggir sungai, dan rombongan aliran kayu ke arah hilir (NSdI, 2004:40).Pleonasme adalah melebihkan suatu kata meskipun sebenarnya tidak perlu
5.Tetapi aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa tatapan matanya yang sangat tajam ketika kami pertama kali bertemu-bukan bertemu, aku yang memandangnya dari kejauhan-menjelang senja beberapa waktu sebelum huru hara itu, telah mengubah seluruh tatanan pemikiranku selama ini (NSdI, 2004:60).Sinestesia adalah metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indera untuk dikenakan pada indera lain.
6.Aku diam menahan perih. Perlahan air mataku mengalir dan aku tak bisa terisak. Memang tak ada isak, yang ada dalam diriku adalah pedih, ngilu, dan nyeri (NSdI, 2004:21—22).Klimaks adalah melukiskan keadaan secara berurutan sampai pada puncaknya

Dalam sebuah novel, untuk melukiskan sesuatu, kerap menggunakan kata sifat yang meluas, agar dapat memberikan penggambaran yang lebih jelas. Misalnya, untuk menggambarkan wanita itu menangis sedih, pembaca tidak mengetahui seberapa dalam kesedihan yang dialami si wanita. Akan tetapi, jika digambarkan: wanita itu tak dapat menahan isak tangisnya dengan terus mengucurkan air mata, pembaca bisa membayangkan kesedihan seperti apa yang dialami si wanita.

Berikut akan diberikan beberapa contoh kalimat yang menggunakan kata sifat yang meluas tersebut. Tugas kalian adalah mencari contoh lain yang boleh kalian buat sendiri.
  1. Alia, wanita itu, masih menangis tanpa suara, hanya isakan (NSdI, 2004:1).
  2. Dia senang memandang lelaki tu; melihat dari dekat wajahnya yang tidak terlalu halus-dengan pori-pori yang terlihat dan rahang yang menyembul (NSdI, 2004:4).
  3. Dan sebelum perusahaan itu datang, tak pernah ada banjir besar yang menghancurkan kampung kami setiap tahun (NSdI, 2004:7).
  4. Aku sakit hati dan selalu memendam perasaan ingin menghancurkannya suatu saat nanti kalau ketemu dia, atau siapapun orang dekatnya.(NSdI, 2004: 86).
  5. Kebencian yang berasal dari kekecewaan karena ketidakadilan: kepemilikan yang tercabut dan diambil dengan paksa. (NSdI, 2004:58)
 

Membandingkan Teks Opini

Membandingkan teks adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan persamaan dan perbedaan atas suatu teks. Membandingkan dua teks opini dapat diartikan sebagai usaha menemukan persamaan dan perbedaan atas kedua teks berdasarkan data-data yang ada dalam teks. Persamaan dan perbedaan teks tersebut dapat dilihat dari segi struktur teks, isi teks. Perbandingan struktur teks merujuk pada persamaan dan perbedaan penyajian isi struktur dalam dua buah teks yang dibandingkan. Perbandingan tersebut bertujuan untuk menelaah kelengkapan struktur. Perbandingan isi teks merujuk pada kegiatan membandingkan persamaan dan perbedaan dalam pengolahan unsur kebahasaan kedua teks.

Struktur teks itu merupakan gambaran cara teks itu dibangun. Kalian dapat Teks opini disusun dengan struktur pernyataan pendapat, diikuti oleh argumentasi, dan ditutup oleh pernyataan ulang pendapat. Struktur teks ini dapat dituliskan seperti berikut: pernyataan pendapat^argumentasi^pernyataan ulang pendapat (thesis statement^arguments^ reiteration). Pernyataan pendapat (thesis statement). Pernyataan pendapat berisikan topik tentang sebuah permasalahan yang akan dibahas. Argumentasi merupakan pendukung yang akan memperkuat opini yang hendak disampaikan.  Pernyataan ulang pendapat (reiteration) merupakan bagaian akhir teks opini yang berisi penegasan kembali pendapat yang telah dikemukakan agar pembaca atau pendengar semakin yakin dengan pandangan kalian tersebut. Perhatikan struktur kedua teks di bawah ini
Menjual Sembari Menjaga Nirwana
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatIndonesia adalah surga sekaligus kisah nyata, bukan isapan jempol belaka atau romantisme dari masa lalu. Ada begitu banyak tempat indah yang tersembunyi dan masih belum tersentuh. Sayangnya, tempat-tempat itu belum digarap serius sebagai tujuan wisata. Jangankan membuat program wisata yang kreatif, membangun prasarananya saja kerap tidak dilakukan pemerintah.
2.ArgumentasiDalam beberapa tahun terakhir, bahkan keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah. Padahal, dengan pariwisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya.

Di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, ironi itu terpampang nyata. Kepulauan itu memiliki pantai-pantai indah, laut yang bening dan tenang, serta ikan berwarna-warni yang menyelinap di antara terumbu karang indah. Menjelang senja, matahari menjadi bola merah yang ditelan laut jingga. Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus. Mereka datang hanya pada saat kampanye untuk memancing suara, bahkan mempersilakan para nelayan mengeb*m terumbu karang. Keinginan pemerintah pusat menjadikannya sebagai taman nasional ditentang justru oleh pemerintah daerah.

Di Mentawai, Sumatera Barat, lain lagi yang terjadi. Kepulauan ini memiliki ombak terbaik untuk berselancar. Di dunia ini hanya ada tiga tempat yang memiliki barrel-ombak berbentuk terowongan-yang dapat ditemui sepanjang waktu: Hawaii, Haiti, dan Mentawai. Namun, pemerintah daerah seolah-olah tidak berdaya di sana. Resor tumbuh menjamur, tetapi kontribusi mereka kepada ekonomi daerah amat minimal. Mungkin ini merupakan bentuk “protes” mereka kepada pemerintah daerah yang tidak serius membangun prasarana wisata di sana.

Dengan ribuan “surga yang tersembunyi” itu, pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang datang ke negeri ini. Tahun lalu, menurut catatan Badan Pusat Statistik, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia. Jangankan dibandingkan dengan Prancis yang mampu mendatangkan 83 juta turis tahun lalu, jumlah wisatawan asing ke Indonesia masih jauh dari Malaysia, yang menurut United Nations World Tourism Organization kedatangan 25 juta pelancong pada 2012. Ini menempatkan Malaysia pada peringkat ke-10 negara dengan jumlah wisatawan asing terbanyak.

Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia adalah ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki. Pemerintah pusat ataupun daerah masih lebih senang mendapatkan uang dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Mereka lebih suka membabat hutan untuk mengambil kayunya, menggali buminya untuk mengeduk mineral di dalamnya, atau menggantikan pepohonan hutan dengan kelapa sawit. Pariwisata dianggap tidak terlalu menguntungkan-terutama untuk pejabat yang korup. Tidak ada resor atau pengelola wisata yang bisa membayar setoran ke pejabat korup sebesar yang disetor pejabat hutan atau pemilik tambang.

Kesadaran menjaga alam dan mengembangkan potensi wisata justru datang dari operator wisata. Di Togean, seorang pemilik resor harus membayar nelayan secara berkala agar mereka tidak memburu ikan dengan b*m. Ia berupaya menyadarkan masyarakat tentang arti penting keindahan alam di halaman rumah mereka. Di Hulu Bahau, Kalimantan Utara, seorang ketua adat besar berhasil menyadarkan masyarakat untuk menjaga hutan. Bersama lembaga seperti WWF, masyarakat di sana mengembangkan wisata sungai dan rimba.

Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini agar lebih menarik. Singapura, misalnya, pulau kecil yang penuh beton itu mampu membuat banyak atraksi wisata-meski sebagian besar artifisial dan terlihat lebih indah di iklan-yang mampu menarik 15 juta wisatawan asing. Hampir dua kali lipat dari yang ke Indonesia.

Selama ini pemerintah hanya menjual Bali dan Bali, atau-kalau mau dikatakan agak berpandangan luas sedikit-bergesernya pun paling-paling hanya ke Yogyakarta dan Danau Toba. Padahal tempat-tempat itu tidak perlu “dijual” lagi dan sebaiknya dibiarkan jalan sendiri. Berapa banyak peminat wisata yang tahu, misalnya, bahwa Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, di pertemuan antara Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan arus surut Sungai Kampar, terdapat “bono”, tidal bore yang dirindukan para selancar sungai, dan diakui sebagai yang terbaik di dunia.
3.Pernyataan Ulang PendapatIndonesia memang surga sekaligus kisah nyata. Di tangan para pemangku kepentingan terletak tanggung jawab merayakannya.
(Sumber: Tempo, 18—24 November 2013)

Tentang Baik dan Benar oleh: Agus Sri Danardana
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatTak dapat dimungkiri bahwa dalam berbahasa (Indonesia), ukuran baik dan benar masih sering menjadi perbalahan. Sekalipun mudah didefinisikan, ukuran baik dan benar itu acap kali bias dalam implementasinya. Mungkin karena secara terminologis kata baik dan benar itu sudah menyaran pada hal yang sempurna, tanpa cacat sehingga orang pun tidak segan-segan memaknai slogan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu sama dengan bahasa Indonesia baku. Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu karena merasa telah dibelenggunya. Menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar sama dengan bahasa Indonesia baku adalah sebuah kekeliruan. Bahasa Indonesia baku sesungguhnya hanyalah salah satu ragam bahasa Indonesia yang secara kebijakan (policy) ditetapkan sebagai acuan penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada.
2.ArgumentasiSecara sederhana, bahasa yang baik dan benar dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa. Karena ditentukan oleh banyak hal (seperti tempat, topik, dan tujuan pembicaraan serta kawan/lawan bicara), yang dapat memunculkan banyak ragam bahasa, ukuran bahasa yang baik (sesuai dengan situasi pemakaian bahasa) sering dipahami secara salah oleh banyak orang. Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja. Hal itu diperparah lagi oleh rendahnya penguasaan kaidah bahasa (Indonesia) mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat (Indonesia) gemar melanggar aturan, tak terkecuali aturan bahasa yang meliputi tata bunyi/lafal, tatatulis/ejaan, tatakata, tatakalimat, dan tatamakna itu..

Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam. Mereka tidak (mau) menyadari bahwa bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, identik dengan keanekaragaman masyarakat penggunanya. Pada umumnya, karena tidak memiliki kesadaran itu, mereka hanya menguasai satu ragam bahasa sehingga di mana pun dan kapan pun selalu menggunakan ragam bahasa yang dikuasainya itu. Ibarat berpakaian, di mana pun dan kapan pun mereka selalu memakai pakaian yang sama.

Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku saat tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga saat ronda. Dalam situasi tidak resmi seperti itu, bentuk-bentuk tidak baku, seperti duit alih-alih uang; awak/aku/ane/gue alih-alih saya; dan biarin alih-alih biarkan, justru layak digunakan. Bayangkan, betapa lucu dan aneh jika dalam tawarmenawar terjadi dialog seperti berikut ini.
“Bang, berapakah harga satu kilo daging ini?”
“Satu kilo daging ini saya jual Rp100.000,00, Bu.”
“Apakah tidak boleh ditawar, Bang.”
“Boleh, boleh. Berapa Ibu menawar?”
“ Rp90.000,00 saja ya, Bang.”

Pun sebaliknya, sangatlah tidak pantas jika ada orang menggunakan bentuk-bentuk tidak baku itu dalam sebuah seminar, dengan teman akrabnya sekalipun.

Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi. Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang. Konon, setiap jengkal ruang (karakter) di surat kabar bernilai bisnis. Oleh karena itu, permakluman yang sama seharusnya tidak diberikan kepada penyiar yang membacakan tulisan itu untuk pendengar/pemirsanya. Mengapa? Karena penyiar tidak terikat oleh ruang. Kalaupun penyiar terikat oleh waktu, sesungguhnya ia tetap memiliki kebebasan untuk menyiasatinya: dengan mempercepat tempo, misalnya.

Bagaimana dengan bahasa iklan dan sastra? Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap dapat diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu. “Keanehan” berbahasa dalam iklan dan sastra (kalau memang ada) harus dipandang sebagai kreativitas berbahasa pembuat/pengarang selama tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku. Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi. Akan tetapi, bagaimana dengan iklan yang berbunyi: …melindungi dari kuman? Sebagai contoh yang baikkah bunyi iklan itu? Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen. Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh setelah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan dapat lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen karena bunyi iklannya memang tidak menjanjikan dapat melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen.

Keanehan berbahasa, karena sudah berlangsung lama dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan. Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seolah-olah sudah menjadi baku dan dianggap benar. Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua yang sedang berdialog, baik dalam surat maupun pidato.
3.Pernyataan Ulang PendapatBegitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat memperlancar komunikasi, tetapi juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.
(Sumber: Agus Sri Danardana [Ed.], Paradoks: Kumpulan Tulisan Alinea di Riau Pos 2013, Pekanbaru: Palagan Press, 2013, halaman 1—4)

Bagaimanakah berbahasa yang baik dan benar itu? Berbahasa yang baik dan benar menurut saya adalah menggunakan bahasa sesuai dengan situasi pemakaiannya (resmi atau tidak resmi) dan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa. 
opini
Teks opini berisi gagasan pribadi atau usulan mengenai sesuatu. Pada teks “Tentang Baik dan Benar”, gagasan apa yang hendak diungkapkan penulis? Penulis ingin menyampaikan tentang berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Baca dan cermati kembai teks tersebut. Argumentasi apa saja yang diutarakan penulis untuk mendukung gagasannya?
  1. Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja.
  2. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.
  3. Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku saat tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga saat ronda. 
  4. Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi.
  5. Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap dapat diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu.
  6. Keanehan berbahasa, karena sudah berlangsung lama dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan. 
Teks opini memuat argumentasi satu sisi, dan jumlah argumentasi tidak ditentukan. Selain merupakan milik pencipta teks, argumentasi dapat dikembangkan dari pendapat umum yang diambil dari sumber lain, sepanjang sumber itu disebutkan sebagai referensi. Beberapa argumentasi yang dikembangkan dari pendapat lain adalah sebagai berikut.
No.ArgumentasiReferensi
1.Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja.Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat (Indonesia) gemar melanggar aturan, tak terkecuali aturan bahasa yang meliputi tata bunyi/lafal, tatatulis/ejaan, tatakata, tatakalimat, dan tatamakna itu.
2.Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.Mereka tidak (mau) menyadari bahwa bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, identik dengan keanekaragaman masyarakat penggunanya.
3.Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku saat tawar-menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga saat ronda.Dalam situasi tidak resmi seperti itu, bentuk-bentuk tidak baku, seperti duit alih-alih uang; awak/aku/ane/gue alih-alih saya; dan biarin alih-alih biarkan, justru layak digunakan
4.Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi.Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang.
5.Tidak berbeda dengan ragam bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap dapat diterapkan pada dua ragam (iklan dan sastra) itu.“Keanehan” berbahasa dalam iklan dan sastra (kalau memang ada) harus dipandang sebagai kreativitas berbahasa pembuat/pengarang selama tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku.
6.Keanehan berbahasa, karena sudah berlangsung lama dan berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan.Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seolah-olah sudah menjadi baku dan dianggap benar.

Terdapat dua macam teks opini, yaitu opini analitis dan opini hortatoris. Opini analitis berkenaan dengan konsep atau teori tentang sesuatu, sedangkan opini hortatoris berkenaan dengan tindakan yang perlu dilakukan atau kebijakan yang perlu dibuat. Bandingkanlah  teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” dan “Tentang Baik dan Benar” teks tersebut termasuk teks opini analitis atau hortatoris?
  1. Teks "Menjual Sembari Menjaga Nirwana" merupakan opini hotatoris karena teks tersebut berhubungan dengan tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian alam di Indonesia.
  2. Teks "Tentang Baik dan Benar" merupakan opini analitis karena teks tersebut berhubungan dengan konsep berbahasa Indonesia yanga baik dan benar.

Teks opini mencakup penggunaan verba material, relasional, dan mental sekaligus. Verba relasional adalah verba yang menunjukkan hubungan intensitas (yang mengandung pengertian A adalah B), sirkumstansi (yang mengandung pengertian A pada/di dalam B), dan milik (yang mengandung pengertian A mempunyai B). Verba yang pertama tergolong ke dalam verba relasional identifikatif, sedangkan verba yang kedua dan ketiga tergolong ke dalam verba relasional atributif. Pada verba relasional identifikatif terdapat partisipan token (token) atau teridentifikasi (identified) dan nilai (value) atau pengidentifikasi (identifier). Misal: Ayah (token) adalah (verba relasional identifikasi) pelindung keluarga (nilai). Pada verba relasional atributif terdapat partisipan penyandang (carrier) dan sandangan (attribute). Misal: Ayah (penyandang) mempunyai (verba relasional atributif) mobil baru (sandangan).

Verba mental, pada umumnya digunakan untuk mengajukan klaim. Verba ini menerangkan persepsi (misalnya: melihat, merasa), afeksi (misalnya: suka, khawatir), dan kognisi (misalnya: berpikir, mengerti). Pada verba mental ini terdapat partisipan pengindera (senser) dan fenomena. Contohnya dalam klausa: Saya mempercayai bahwa..., Menurut saya..., Saya berpendapat.... Contoh lain dalam kalimat: Ayah (pengindera) mendengar (verba mental) kabar itu (fenomena).

 Beberapa contoh verba yang terdapat dalam teks "Tentang Baik dan Benar" adalah sebagai berikut.
No.KalimatVerbaJenis Verba
1.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. MerasaVerba Mental
2.Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu karena merasa telah dibelenggunya.MerasaVerba Mental
3.Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat memperlancar komunikasi, tetapi juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.BerpikirVerba Mental
4.Menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar sama dengan bahasa Indonesia baku adalah sebuah kekeliruan.AdalahVerba Relasional
Identifikatif
5.Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi pemakaiannya, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah (aturan) bahasa.AdalahVerba relasional Identitikatif
5.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. MemilikiVerba Relasional Atributif
6.Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang.MemilikiVerba Relasional Atributif
7.Karena penyiar tidak terikat oleh ruang. Kalaupun penyiar terikat oleh waktu, sesungguhnya ia tetap memiliki kebebasan untuk menyiasatinya: dengan mempercepat tempo, misalnya.MemilikiVerba Relasional Atributif
8.Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.MemilikiVerba Relasional Atributif
9.Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi.AdalahVerba Relasional
Identifikatif
10.Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.MenganggapVerba Mental

Konjungsi
Konjungsi yang banyak dijumpai pada teks opini adalah konjungsi yang digunakan untuk menata argumentasi, seperti pertama, kedua, berikutnya, dan sebagainya; atau konjungsi yang digunakan untuk memperkuat argumentasi, seperti bahkan, juga, selain itu, lagi pula, sebagai contoh, misalnya, padahal, justru dan lain-lain; atau konjungsi yang menyatakan hubungan sebab akibat, seperti sejak, sebelumnya, dan sebagainya; konjungsi yang menyatakan harapan, seperti agar, supaya, dan sebagainya.
No.KalimatKonjungsiFungsi Konjungsi
1.Bahkan, banyak pula orang yang kemudian berantipati pada slogan itu karena merasa telah dibelenggunya. BahkanUntuk memperkuat argumentasi
2.Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh setelah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan dapat lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen karena bunyi iklannya memang tidak menjanjikan dapat melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen.BahkanUntuk menyatakan harapan
3.Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen.JugaUntuk memperkuat argumentasi
4.Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat memperlancar komunikasi, tetapi juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika) dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.JugaUntuk memperkuat argumentasi
5.Sebagai contoh yang baikkah bunyi iklan itu? Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen.Sebagai contohUntuk memperkuat argumentasi
5.Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus.JugaUntuk memperkuat argumentasi
6.Pada umumnya, orang cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu, misalnya, hanya terbatas pada tempat saja.MisalnyaUntuk memperkuat argumentasi
7.Penghilangan imbuhan (awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena surat kabar memiliki keterbatasan ruang.MisalnyaUntuk memperkuat argumentasi
8.Dalam surat-menyurat atau dalam pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih seolah-olah sudah menjadi baku dan dianggap benar.MisalnyaUntuk memperkuat argumentasi
9.Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada.PadahalUntuk memperkuat argumentasi
10.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan keduaPadahalUntuk memperkuat argumentasi

Modalitas
Teks opini/editorial mengandung modalitas untuk membangun opini yang mengarah kepada saran atau anjuran. Modalitas merupakan cara seseorang menyatakan sikap dalam sebuah komunikasi. Beberapa bentuk modalitas antara lain: memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukan, bukannya, dan sebagainya (untuk menyatakan kepastian); iya, benar, betul, sebenarnya, malahan, dan sebagainya (untuk menyatakan pengakuan); agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, sebagainya (untuk menyatakan kesangsian); semoga, mudah-mudahan, dan sebagainya (untuk menyatakan keinginan); baik, mari, hendaknya, kiranya, dan sebagainya (untuk menyatakan ajakan); jangan (untuk menyatakan larangan); serta mustahil, tidak masuk akal, dan sebagainya (untuk menyatakan keheranan).
No.Kalimat dalam TeksModalitasFungsi Modalitas
1.Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada.MemangUntuk menyatakan kepastian
2.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan keduaPastiUntuk menyatakan kepastian
3.Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga dapat mengecoh dan membodohi konsumen. TentuUntuk menyatakan kepastian
4.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. TidakUntuk menyatakan kepastian
5.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan keduaBukanUntuk menyatakan kepastian
5.Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi.MungkinUntuk menyatakan kesangsian
6.Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi.MungkinUntuk menyatakan kesangsian
7.Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam.RupanyaUntuk menyatakan kesangsian
8.Padahal, jika ditanya siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan jawaban yang benar karena -nya dan di mengacu kepada orang ketiga: bukan orang pertama dan kedua yang sedang berdialog, baik dalam surat maupun pidato.BaikUntuk menyatakan ajakan
9.Betapa tidak, seandainya tangan konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh setelah menggunakan produk yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan dapat lepas tanggung jawab atas tuntutan konsumen karena bunyi iklannya memang tidak menjanjikan dapat melindungi apa pun, apalagi tangan konsumen.MemangUntuk menyatakan kepastian
10.Sebagai akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. TidakUntuk menyatakan kepastian

Teks opini memuat pendapat atau pandangan penulis yang biasanya diterbitkan pada media cetak. Dalam sebuah teks opini terkandung subjektivitas, tidak hanya fakta belaka. Dalam sebuah media cetak, artikel opini, surat pembaca, dan tajuk rencana merupakan jenis teks opini. Artikel opini dan surat pembaca merupakan pendapat pembaca terhadap suatu masalah, peristiwa, atau kejadian tertentu. Sedangkan tajuk rencana, atau dikenal juga dengan istilah editorial merupakan opini atau pendapat redaksi media cetak tersebut terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap media yang bersangkutan. Berbeda dengan artikel opini yang ditulis pembaca, sebuah tajuk rencana tidak mencantumkan nama penulisnya karena merupakan suara lembaga.
Perhatikan secara saksama teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” dan “Tentang Baik dan Benar”. Teks "Menjual Sembari Menjaga Nirwana" merupakan teks editorial karena tidak mencantumkan nama penulis (Sumber: Tempo, 18—24 November 2013). Sedangkan teks "Tentang Baik dan Benar" merupakan opini karena ditulis oleh: Agus Sri Danardana.

Menganalisis Teks Opini/Editorial

Analisis adalah kegiatan penyelidikan (meneliti/memeriksa) terhadap suatu teks, dan menganalisis merupakan kegiatan melakukan analisis. Di dalam menganalisis teks opini ada beberapa lagkah yang perlu diperhatikan yaitu struktur, isi, dan bahasa. Struktur teks opini terdiri dari pernyataan pendapat^argumentasi^pernyataan ulang pendapat. Dari segi isi teks opini/editorial menyikapi situasi yang berkembang dimasyarakat luas baik itu aspek sosial, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan tergantung tujuan dari penulis. Dari segi bahasa teks opini/editorial menggunakan unsur kebahasaan seperti adverbia, konjungsi, verba, dan kosakata.

Pada bagian ini Anda diajak untuk menganalisis fungsi sosial teks opini/editorial. Fungsi sosial teks opini/editorial tajuk biasanya menjelaskan berita artinya, dan akibatnya pada masyarakat. Teks opini juga mengisi latar belakang dari kaitan berita tersebut dengan kenyataan sosial dan faktor yang mempengaruhi dengan lebih menyeluruh. Dalam teks opini/editorial terkadang juga ada ramalan atau analisis kondisi yang berfungsi untuk mempersiapkan masyarakat akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi serta meneruskan penilaian moral mengenai berita tersebut.

Silahkan memberikan pendapat atau memberikan penafsiran tentang teks tersebut. Tentunya dalam menganalisis teks opini tidak akan menenui kesulitan, karena teks ini sudahdijelaskan bagaimana struktur teks opini/editorial, bagaimana ciri kebahasaan yang kerap digunakan pada teks tersebut, serta informasi apa saja yang dibutuhkan untuk membangun sebuah teks opini/editorial. Oleh karena itu, bacalah kembali secara saksama teks berikut!
Menjual Sembari Menjaga Nirwana
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatIndonesia adalah surga sekaligus kisah nyata, bukan isapan jempol belaka atau romantisme dari masa lalu. Ada begitu banyak tempat indah yang tersembunyi dan masih belum tersentuh. Sayangnya, tempat-tempat itu belum digarap serius sebagai tujuan wisata. Jangankan membuat program wisata yang kreatif, membangun prasarananya saja kerap tidak dilakukan pemerintah.
2.ArgumentasiDalam beberapa tahun terakhir, bahkan keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah. Padahal, dengan pariwisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya.

Di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, ironi itu terpampang nyata. Kepulauan itu memiliki pantai-pantai indah, laut yang bening dan tenang, serta ikan berwarnawarni yang menyelinap di antara terumbu karang indah. Menjelang senja, matahari menjadi bola merah yang ditelan laut jingga. Namun, di sana juga berlangsung perusakan alam yang kerap didukung para politikus. Mereka datang hanya pada saat kampanye untuk memancing suara, bahkan mempersilakan para nelayan mengebom terumbu karang. Keinginan pemerintah pusat menjadikannya sebagai taman nasional ditentang justru oleh pemerintah daerah.

Di Mentawai, Sumatera Barat, lain lagi yang terjadi. Kepulauan ini memiliki ombak terbaik untuk berselancar. Di dunia ini hanya ada tiga tempat yang memiliki barrel-ombak berbentuk terowongan-yang dapat ditemui sepanjang waktu: Hawaii, Haiti, dan Mentawai. Namun, pemerintah daerah seolah-olah tidak berdaya di sana. Resor tumbuh menjamur, tetapi kontribusi mereka kepada ekonomi daerah amat minimal. Mungkin ini merupakan bentuk “protes” mereka kepada pemerintah daerah yang tidak serius membangun prasarana wisata di sana.

Dengan ribuan “surga yang tersembunyi” itu, pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang datang ke negeri ini. Tahun lalu, menurut catatan Badan Pusat Statistik, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia. Jangankan dibandingkan dengan Prancis yang mampu mendatangkan 83 juta turis tahun lalu, jumlah wisatawan asing ke Indonesia masih jauh dari Malaysia, yang menurut United Nations World Tourism Organization kedatangan 25 juta pelancong pada 2012. Ini menempatkan Malaysia pada peringkat ke-10 negara dengan jumlah wisatawan asing terbanyak.

Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia adalah ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki. Pemerintah pusat ataupun daerah masih lebih senang mendapatkan uang dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Mereka lebih suka membabat hutan untuk mengambil kayunya, menggali buminya untuk mengeduk mineral di dalamnya, atau menggantikan pepohonan hutan dengan kelapa sawit. Pariwisata dianggap tidak terlalu menguntungkan-terutama untuk pejabat yang korup. Tidak ada resor atau pengelola wisata yang bisa membayar setoran ke pejabat korup sebesar yang disetor pejabat hutan atau pemilik tambang.

Kesadaran menjaga alam dan mengembangkan potensi wisata justru datang dari operator wisata. Di Togean, seorang pemilik resor harus membayar nelayan secara berkala agar mereka tidak memburu ikan dengan bom. Ia berupaya menyadarkan masyarakat tentang arti penting keindahan alam di halaman rumah mereka. Di Hulu Bahau, Kalimantan Utara, seorang ketua adat besar berhasil menyadarkan masyarakat untuk menjaga hutan. Bersama lembaga seperti WWF, masyarakat di sana mengembangkan wisata sungai dan rimba.

Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini agar lebih menarik. Singapura, misalnya, pulau kecil yang penuh beton itu mampu membuat banyak atraksi wisata-meski sebagian besar artifisial dan terlihat lebih indah di iklan-yang mampu menarik 15 juta wisatawan asing. Hampir dua kali lipat dari yang ke Indonesia.

Selama ini pemerintah hanya menjual Bali dan Bali, atau-kalau mau dikatakan agak berpandangan luas sedikit-bergesernya pun paling-paling hanya ke Yogyakarta dan Danau Toba. Padahal tempat-tempat itu tidak perlu “dijual” lagi dan sebaiknya dibiarkan jalan sendiri. Berapa banyak peminat wisata yang tahu, misalnya, bahwa Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, di pertemuan antara Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan arus surut Sungai Kampar, terdapat “bono”, tidal bore yang dirindukan para selancar sungai, dan diakui sebagai yang terbaik di dunia.
3.Pernyataan Ulang PendapatIndonesia memang surga sekaligus kisah nyata. Di tangan para pemangku kepentingan terletak tanggung jawab merayakannya.

Informasi yang diperoleh dari teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana” antara lain sebagai berikut.
  1. Ternyata Indonesia memiliki banyak tempat indah.
  2. Tempat-tempat indah itu masih terbengkalai dan belum digarap.
  3. Pembangunan prasarananya kerap tidak dilakukan pemerintah.
  4. Keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah.
  5. Dengan pariwisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya.
  6. Di Mentawai, Sumatera Barat, kepulauan ini memiliki ombak terbaik untuk berselancar.
  7. Pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang datang ke negeri ini.
  8. Tahun lalu, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia.
  9. Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia adalah ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki.
  10. Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini agar lebih menarik.
  11. Selama ini pemerintah hanya menjual Bali, Yogyakarta dan Danau Toba. 

Dari teks “Menjual Sembari Menjaga Nirwana”, diketahui berbagai informasi tentang objek wisata yang masih tersembunyi di negeri tercinta ini. Saya sangat setuju dengan tulisan di atas. Meski Indonesia memiliki objek wisata dan budaya yang lebih beragam dibanding Malaysia, Thailand dan Brunei, peluang tersebut tidak bisa diambil begitu saja karena Indonesia belum memiliki dukungan regulasi yang kondusif, proteksi terhadap lingkungan, kebersihan, serta kepastian usaha dan dukungan infrastruktur yang masih terbatas. 

Salah satu unsur yang menentukan berkembangnya industri pariwisata adalah objek wisata. Semua hal yang menarik untuk dilihat dan dirasakan oleh wisatawan itulah yang disebut objek wisata atau tempat wisata. Tempat wisata ini dapat berupa objek wisata alam, seperti gunung, danau, sungai, pantai, ataupun laut, sedangkan objek wisata bangunan dapat berupa museum, benteng, situs peninggalan sejarah, dan sebagainya.
  1. Menurut kalian, apakah masih banyak tempat wisata yang memang belum terjamah, baik oleh pemerintah maupun penduduk setempat? Ada begitu banyak pesona alam, maupun buatan yang belum dikenal tapi sangat indah dan luar biasa menawan. Misalnya saja di Minahasa Selatan memiliki berbagai objek wisata yang seakan belum terjamah, ada air terjun, ada pantai yang luar biasa indah, ada hutan wisata, ada peninggalan-peninggalan bersejarah, dan masih banyak lagi lainnya.
  2. Coba kalian sebutkan tempat apa saja yang seharusnya bisa dijadikan objek wisata di daerah kalian, tetapi masih terabaikan dan belum dimanfaatkan. Misalnya Pantai Moinit yang berada di desa Teep Kecamatan Amurang Barat dan Desa Tawaang Kecamatan Tenga. Nah, pemandangan alamnya begitu menakjubkan, dan Anda juga bisa menemukan sebuah tempat permandian, dan ada air panas di perairan laut. Katanya mandi di sana dapat memuluskan kulit, dan menyehatkan badan.
  3. Menurut kalian, apa penyebab tempat di daerah kalian itu masih belum digarap atau dimanfaatkan (belum terjamah)? Hal ini disebabkan karena daerah belum memiliki dukungan regulasi yang kondusif, proteksi terhadap lingkungan, kebersihan, serta kepastian usaha dan dukungan infrastruktur yang masih terbatas. 
  4. Tempat wisata apa sajakah yang ada di daerah kalian? Beberapa obyek wisata seperti Batu Kapal di desa Sapa Tenga, kemudian ada Benteng Portugis di Uwuran Satu Amurang, Gereja Belanda yang dibangun pada tahun 1800-an, Batu Menhir di Lelema, Waruga kaneyan, dan Batu Tumotow di Tareran

Mengevaluasi Struktur Teks Opini/Editorial

Teks opini/editorial adalah teks yang berisi permasalahan yang bersifat aktual yang ditulis berdasarkan sudut pandang; opini atau pendapat dari penulis. Di dalam editorial terdapat fakta dan opini. Fakta adalah hal yang bersifat faktual yang diambil dari peristiwa atau kejadian meaupun berbagai gejala yang terjadi di masyarakat. Opini adalah argumen atau tanggapan redaksi terhadap peristiwa atau gejala yang dijadikan pokok pembicaraan dalam editorial yang disertai pula dengan harapan-harapan yang bertujuan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang dibahas.

Susunan teks opini/editorial dibuat semenarik mungkin dengan memberikan berbagai argumen, data-data yang menunjang pendapat dari penulis tentang masalah yang sedang dibahas. Data-data yang digunakan itu bertujuan untuk mempengaruhi atau mengubah persepsi pembaca atau pendengar untuk mengikuti atau menerima pendapat penulis teks tersebut.

Pada kegiatan ini Anda diminta untuk dapat mengajukan argumentasi bahwa sesuatu itu benar adanya atau sesuatu yang diusulkan itu harus dilakukan. Hal ini sesuai dengan fungsi sosial teks opini. Dengan merekonstruksi nilai-nilai dan tujuan sosial yang menerapkan kelaziman kebahasaan, serta mengikuti tahapan struktur teks yang telah ditetapkan, diharapkan secara bersama bisa membangun sebuah teks opini/editorial.

Struktur Teks
Setiap teks memiliki struktur yang berbeda. Struktur teks tersebut berfungsi untuk membentuk struktur berpikir seseorang sehingga setiap penguasaan jenis teks tertentu maka seseorang akan memiliki kemampuan berpikir sesuai dengan struktur teks yang telah dikuasainya. Dengan berbagai macam jenis teks yang dikuasai maka seseorang akan menguasai pula berbagai struktur berpikir. Struktur berpikir akan berimbas pada bagaimana seseorang dapat menyampaikan pesan, pikiran, gagasan, pendapat, atau idenya kepada orang lain. Perhatikan struktur teks berikut ini.
Sastra Facebook, Sebuah Alternatif Pengembangan Proses Kreatif
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatSastra erat kaitannya dengan dunia imajinasi. Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta melalui imajinasi tersebut. Sastra juga merupakan karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasaan estetika dan intelektual bagi pembaca. Siapa pun itu berhak mengekspresikan imajinasinya dan bebas menyampaikan pesan moral yang dibawanya melalui karya yang diciptakannya. Namun, sering karya sastra tidak mampu dinikmati oleh setiap orang karena berbagai keterbatasan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya wahana pemublikasian karya sastra tersebut, sehingga kerap karya yang telah dilahirkan akhirnya harus mengendap di laci sang penulis, terutama bagi penulis pemula.
2.ArgumentasiSebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan, maka akan menguap begitu saja tanpa makna. Untuk memublikasikan sebuah karya sastra itulah diperlukan wahana. Selama ini, wahana yang tersedia adalah media cetak, baik itu buku, koran, majalah, serta tabloid. Dengan berbagai keterbatasan, seperti jumlah halaman pada buku atau jumlah kata pada rubrik-rubrik sastra di koran, menyebabkan karya sastra yang dimuat harus melalui proses penyeleksian. Tentu saja kesempatan terbesar untuk dapat dimuat dalam media cetak tersebut ada pada para sastrawan yang telah memiliki nama besar. Bagi penulis pemula, apabila karyanya tidak spektakuler, atau belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan redaktur, harus mencoba dan mencoba lagi. Hal inilah yang kadang membuat banyak penulis pemula putus asa dan bahkan memutuskan untuk tidak akan mencoba menulis lagi, dan mencamkan dalam dirinya bahwa ternyata ia tidak berbakat.

Padahal untuk memunculkan kreativitas diperlukan proses, yakni proses kreatif. Dengan berputus asa seperti itu, berarti penulis pemula itu telah pula menghambat proses kreatif yang ada dalam dirinya. Ide-ide imajinatif yang masih bercokol dalam otak manusia itu, apabila diperlakukan dengan maksimal akan memunculkan sebuah proses kreatif. Menciptakan suasana yang dapat mengalirkan gagasan dengan bebas merupakan salah satu unsur proses kreatif itu sendiri. Berbagai kecenderungan yang dapat memengaruhi daya kreasi, pengembangan, dan pelaksanaan gagasan sudah selayaknya tak diberi peran, sehingga pemunculan kreativitas tak tersumbat.

Cybersastra, sebagai sebuah wahana, muncul menjawab kegelisahan para penulis atau sastrawan pemula. Wahana ini muncul sekitar awal tahun 2001 seiring dengan merebaknya internet di Indonesia. Cybersastra ini dapat menyalurkan segala bentuk inspirasi bagi penulis pemula yang menjadi tonggak baru kehadiran dunia sastra yang bersifat bebas. Dalam hal ini, karya sastra tidak mengenal ruang, waktu, bahasa, dan mendobrak sekat-sekat negara, karena dengan beberapa detik tulisan yang dimuat akan terekspos ke seluruh belahan negara. Setiap penulis yang memuat karyanya di wahana ini tidak perlu melewati serentetan aturan yang diciptakan para redaktur seperti pada media cetak. Harus diakui bahwa koran dan media cetak lainnya telah punya andil dalam membesarkan nama-nama sastrawan, tetapi terlalu naif apabila menganggap koran atau media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membuat seseorang menjadi sastrawan, terutama pada era keterbukaan dan era digital ini.

Kehadiran Cybersastra membawa suatu inovasi baru dalam menduniakan karya sastra. Theora Aghata dalam esainya “Sastra Cyber: Beberapa Catatan”, terangkum dalam Sastra Pembebasan Antologi Puisi-Cerpen-Esai (2004), mengungkapkan bahwa keberadaan Cybersastra telah menjadi wahana dan wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa depan. Peranan strategis Cybersastra merupakan wahana berkreasi yang mampu meng-update karya secara singkat sehingga menunjang produktivitas dan mendorong perkembangan sastra. Selain itu wahana ini juga mengembangkan wacana kritis dan mengasah kemampuan maupun pemikiran. Kegiatan-kegiatan sastra dalam beberapa tahun terakhir marak berkembang melalui internet, termasuk karya-karya sastra di situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter dan sebagainya.

Facebook sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 ini, kerap dijadikan media pengekspresian imajinasi bagi banyak orang. Sebagai media sosial terbuka, Facebook telah mampu mendapat tempat bagi pelaku sastra. Siapa saja bebas menyiarkan karya-karyanya lewat media ini dan setiap orang pun bebas memberikan komentar atau sekadar mengacungkan jempol sebagai bentuk apresiasi terhadap karya tersebut. Melalui jejaring sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard kelahiran 14 Mei 1984 ini,  siapa saja memiliki keleluasaan mengembangkan ide-ide dan gagasan secara bebas. Pemunculan ide kreatif yang terkait erat dengan kemampuan mentransformasikan serangkaian gagasan abstrak, dapat diubah menjadi sebuah realitas melalui wahana ini. Bahkan beberapa komunitas sastra yang bergerak di sini, seperti “Kopi Sastra”, “Rumah Sastra”, “Dunia Sastra”, dan banyak lagi membentuk kelompok sendiri. Dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Facebook, mereka saling berbagi karya, mengomentari satu sama lain, dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan sastra.

Media ini memiliki peranan penting dalam menghidupkan karya sastra. Bagi para penulis pemula, media ini bisa dijadikan sebagai sebuah bentuk pencarian jati diri di tengah masyarakat dalam memasarkan karya-karyanya. Bagi para sastrawan yang karya-karyanya telah dipublikasikan di media cetak, boleh saja ikut memasarkan karya-karya tersebut melalui media ini. Barangkali, melalui media cetak, karya yang dihasilkannya itu tidak bisa dinikmati oleh semua sasaran, tetapi melalui Facebook, karyanya akan dengan cepat dan mudah diketahui banyak orang. Selain itu, pemilik akun Facebook bisa saling berkomentar seputar dunia sastra dan karya-karya yang dipublikasikan, tanpa harus mengeluarkan biaya banyak. Si pemilik karya pun bisa melihat sejauh mana apresiasi masyarakat terhadap karyanya.  
3.Pernyataan Ulang PendapatTidak adanya batasan kreativitas pada Facebook ini, seperti halnya media cetak, menyebabkan kebebasan berimajinasi penulis cenderung menciptakan hal-hal baru, yang terkadang bersifat sesuka hati. Akibatnya, karya-karya sastra yang lahir pun semakin liar dan kadang tak terkendali. Oleh sebab itu, kualitas sastra Facebook layak pula ditinjau lebih jauh. Meskipun persoalan mutu bersifat relatif, tetapi hendaknya karya-karya yang lahir melalui media ini tetap berbasis teori sastra secara lazim.

Jangan sampai kehadiran sastra Facebook mementahkan kreativitas, hanya mementingkan kuantitas karya-karya yang berdesakan ingin dipublikasikan tanpa memedulikan kualitas. Tanpa  adanya seleksi seperti pada sastra koran dan sastra buku, tentu menjadi peluang sangat besar akan terjadinya hal semacam ini. Jika masalah ini berlarut-larut tanpa adanya kritik melalui penelitian sastra secara signifikan dan konsisten, maka justru akan menjadi titik degradasi sastra secara besar-besaran.
(Sumber: Riau Pos, Sabtu, 6 April 2013)

Apakah yang disampaikan pada bagian pernyataan pendapat?
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan masalah manusia. Siapa pun itu berhak mengekspresikan imajinasinya dan bebas menyampaikan pesan moral yang dibawanya melalui karya yang diciptakannya. 
Apa pula informasi yang ada pada bagian argumentasi?
  1. Sebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan akan menguap begitu saja tanpa makna. Untuk memublikasikan sebuah karya sastra diperlukan wahana yaitu media cetak, baik itu buku, koran, majalah, serta tabloid. 
  2. Untuk memunculkan kreativitas diperlukan proses, yakni proses kreatif. Dengan berputus asa penulis pemula itu telah pula menghambat proses kreatif yang ada dalam dirinya.
  3. Cybersastra, sebagai sebuah wahana, muncul menjawab kegelisahan para penulis atau sastrawan pemula. Cybersastra ini dapat menyalurkan segala bentuk inspirasi bagi penulis pemula yang menjadi tonggak baru kehadiran dunia sastra yang bersifat bebas.
  4. Kehadiran Cybersastra membawa suatu inovasi baru dalam menduniakan karya sastra. Cybersastra telah menjadi wahana dan wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa depan. 
  5. Facebook sebuah situs web jejaring sosial populer kerap dijadikan media pengekspresian imajinasi bagi banyak orang. Sebagai media sosial terbuka, Facebook telah mampu mendapat tempat bagi pelaku sastra. Siapa saja bebas menyiarkan karya-karyanya lewat media ini.
  6. Media ini memiliki peranan penting dalam menghidupkan karya sastra. Bagi para penulis pemula, media ini bisa dijadikan sebagai sebuah bentuk pencarian jati diri di tengah masyarakat dalam memasarkan karya-karyanya.  

Fakta dan Opini
Agar dapat memengaruhi pembaca, penulis opini sering menambahkan data dan fakta untuk mendukung pendapatnya. Carilah argumentasi yang terdapat dalam teks “Sastra Facebook, Sebuah Alternatif Pengembangan Proses Kreatif”. Identifikasikanlah argumentasi yang ada, apakah merupakan pendapat penulis atau fakta yang mendukung pendapat penulis.
Pendapat penulis
  1. Sebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan, maka akan menguap begitu saja tanpa makna. 
  2. Bagi penulis pemula, apabila karyanya tidak spektakuler, atau belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan redaktur, harus mencoba dan mencoba lagi. 
  3. Hal inilah yang kadang membuat banyak penulis pemula putus asa dan bahkan memutuskan untuk tidak akan mencoba menulis lagi, dan mencamkan dalam dirinya bahwa ternyata ia tidak berbakat.
  4. Dengan berputus asa seperti itu, berarti penulis pemula itu telah pula menghambat proses kreatif yang ada dalam dirinya.
  5. Oleh sebab itu, kualitas sastra Facebook layak pula ditinjau lebih jauh. Meskipun persoalan mutu bersifat relatif, tetapi hendaknya karya-karya yang lahir melalui media ini tetap berbasis teori sastra secara lazim.

Fakta
  1. Untuk memublikasikan sebuah karya sastra itulah diperlukan wahana. Selama ini, wahana yang tersedia adalah media cetak, baik itu buku, koran, majalah, serta tabloid. 
  2. Menciptakan suasana yang dapat mengalirkan gagasan dengan bebas merupakan salah satu unsur proses kreatif itu sendiri.
  3. Kegiatan-kegiatan sastra dalam beberapa tahun terakhir marak berkembang melalui internet, termasuk karya-karya sastra di situs-situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter dan sebagainya.
  4. Kehadiran Cybersastra membawa suatu inovasi baru dalam menduniakan karya sastra.
  5. Theora Aghata dalam esainya “Sastra Cyber: Beberapa Catatan”, terangkum dalam Sastra Pembebasan Antologi Puisi-Cerpen-Esai (2004), mengungkapkan bahwa keberadaan Cybersastra telah menjadi wahana dan wacana sangat penting, justru karena fleksibilitas dan kemampuannya untuk menjadi sebuah barometer baru bagi kemajuan sastra kita (Indonesia) di masa depan. 
  6. Cybersastra, sebagai sebuah wahana, muncul menjawab kegelisahan para penulis atau sastrawan pemula. 
  7. Facebook sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 ini, kerap dijadikan media pengekspresian imajinasi bagi banyak orang.
  8. Melalui jejaring sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard kelahiran 14 Mei 1984 ini, siapa saja memiliki keleluasaan mengembangkan ide-ide dan gagasan secara bebas.

Menginterpretasi Fungsi Sosial Teks Opini/Editorial

Dalam kehidupan kita sehari-hari kita tentu akrab dengan media cetak seperti surat kabar, majalah, dan tabloid, semuanya pasti menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar berita. Tapi, tak semua penggunaan kata di media cetak tersebut sesuai dengan ejaan yang berlaku yaitu EYD. Kesalahan tersebut dapat berupa ketidak sesuaian pada penggunaan kata, tanda baca, maupun singkatan dan akronim. Pers memiliki fungsi pencerdas bangsa yang lebih menentukan. Pers sekaligus menjadi pencari berita dan menjadi guru bahasa. Guru bahasa di sini diartikan memiliki kepedulian yang akhirnya mencerahkan pikiran warga masyarakat. Dalam penyampaian informasi tentunya penggunaan ejaan yang baik sangat dibutuhkan karena dengan adanya penggunaan ejaan yang baik kita dapat dengan mudah memahami informasi yang di sampaikan.

Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Sedangkan akronim, ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Akronim atau singkatan yang terdiri dari dua atau tiga huruf disarankan sebaiknya tidak dijadikan judul artikel, kecuali untuk kasus-kasus istimewa, karena akronim dan singkatan yang terdiri dari dua atau tiga huruf dapat memiliki kepanjangan lebih dari satu dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Untuk pembentukan akronim, hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. Kedua, akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Pil Pilu Pemilu
Oleh: Zen Hae (Penyair dan Kritikus Sastra)
No.StrukturKalimat
1.Pernyataan PendapatPemilihan umum (pemilu) bukan hanya pesta demokrasi, tetapi juga pesta akronim (dan singkatan). Menjelang dan saat pemilulah kita menyaksikan bangsa kita memproduksi akronim secara besar-besaran. Pemilu itu adalah sebuah akronim, begitu juga tahapan dan perangkatnya: pemilukada atau pilkada, pileg, pilpres, pilwalkot, luber jurdil, parpol, bawaslu/panwaslu, balon, dapil, caleg, capres/cawapres, pantarlih, dan seterusnya.
2.ArgumentasiBegitulah, pangkal soal utama akronim dalam hasrat akan keringkasan dalam berkomunikasi. Kita menggunakan akronim sebagai salah satu jalan keluar agar kalimat yang kita ungkapkan terasa ringkas, mudah diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa yang beringatan pendek ini.

Sejatinya, akronim bukanlah kata. Ia hanya kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan, setidaknya, tiga kecenderungan. Pertama, prinsip semau gue. Satuan terkecil akronim adalah huruf atau suku kata dari sejumlah kata yang dipadatkan. Namun, tidak ada kesepakatan dalam pemadatan itu. Huruf atau suku kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot: yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip adalah unsur kata dasar atau kata turunan. Semuanya boleh sepanjang akronim itu bisa “diperlakukan sebagai sebuah kata”, karena begitulah pengertian dasar akronim menurut Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2009).

Akan tetapi, bagaimana kita bisa memperlakukan akronim sebagai sebuah kata, dengan cara yang wajar pula? Ambil contoh lain: “Sentra Gakkumdu” (Sentra Penegakan Hukum Terpadu). Meski menurut syarat pembentukan akronim ia tidak lebih dari tiga suku kata dan taat asas dengan mengambil suku kata terakhir setiap kata, “Gakkumdu” adalah “kata” yang aneh, baik bunyi maupun kombinasi vokal dan konsonannya.

Kedua, pencomotan huruf atau suku kata itu menggiring kita ke dalam perangkap alusi bunyi. Sadar atau tidak, saat membuat akronim, kita membayangkan bunyi yang mirip dengan bunyi kata yang sudah ada, atau bahkan sama persis, sehingga kata yang sudah ada itu mengalami pengayaan makna. Misalnya, “pileg” (pemilu legislatif) beralusi bunyi dengan pilek; “caleg” (calon anggota legislatif) dengan calo, sementara “balon” (bakal calon) sebunyi dengan balon.

Terakhir, sebaliknya, pembentukan akronim juga menghindari jebakan alusi bunyi. Sejak awal Orde Baru, “pemilihan umum” diakronimkan dengan “pemilu”, bukan “pilum” atau  “pemilum” (jika mengacu ke pola “ketum”), tidak juga “pilu”, yang mencomot unsur kata dasar pilih dan umum. Jika pemilu
diakronimkan dengan “pilu”, akan segera beralusi bunyi dengan kata pilu yang kita sudah tahu maknanya. Jika “pilu” yang digunakan, permainan makna akan menyasar ironi pemilu di masa itu: pemenangnya partai tertentu melulu. Sedangkan kini “pemilu” bisa juga dimaknai sebagai “menyebabkan pilu atau sakit hati” akibat munculnya pelbagai sengketa dan kecurangan pemilukada.

Memang, dalam pembuatannya, akronim yang berpola kadang tidak menarik atau membingungkan, maka orang memilih yang melenceng tetapi menghasilkan kemerduan bunyi (misalnya “sisminbakum”) atau menyaran kepada harapan dan doa. Itulah mengapa Wiranto, capres dari Partai Hanura, menyingkat namanya menjadi “Win”, bukan “Wir”, karena dengan “Win” dia berharap akan meraih kemenangan di pilpres. Sedangkan dengan “Wir” terkesan peluangnya akan “terkiwir-kiwir" sebagaimana pernah dinyatakan seorang pengguna Twitter.
3.Pernyataan Ulang PendapatAkhirulkalam, bagaimana semestinya sikap kita terhadap akronim? Saya menerima akronim sebagai sebentuk kreativitas dan permainan makna yang menyegarkan. Pada titik tertentu, ia terasa mengotori bahasa Indonesia atau memperbingung penuturnya, apalagi penutur asing. Agar mudah dipahami dalam berkomunikasi, syaratnya sederhana: kita harus merumuskan kalimat sepadat dan sejernih mungkin—bukan membuat akronim atau singkatan.
(Sumber: Majalah Tempo, 24 Februari—2 Maret 2014, halaman 78)

Apa yang Anda ketahui tentang akronim? Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang di perlukan sebagai kata.

Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa pemilihan umum bukan hanya pesta demokrasi, tetapi juga pesta akronim? Setuju karena pada saat pemilihan umum banyak sekali akronim yang digunakan seperti caleg, dapil, cagub, pileg, TPS, panwaslu, gastarlih, pilpres dan masih banyak yang lainnya.

Apakah Anda setuju dengan pernyataan bahwa penyebab utama pembuatan akronim adalah keinginan akan keringkasan dalam berkomunikasi? Setuju karena secara umum, akronim-akronim tersebut dibuat untuk mempersingkat jumlah kata agar menghemat waktu dalam pengucapan. Selain itu, sebagian akronim sengaja diplesetkan agar terkesan lucu, untuk menciptakan keakraban komunikasi sehari-hari.

Setujukah And bahwa akronim, pada titik tertentu, terasa mengotori bahasa Indonesia? Setuju karena saat ini, terdapat banyak akronim berkembang di masyarakat. Namun, tidak sedikit yang menerjang kaidah kebahasaaan. Pada salah satu media cetak ditemukan penulisan akronim markus (kasus Anggodo-Bank Century). Akronim markus  yang berarti ‘makelar kasus’ tersebut membingungkan masyarakat umum karena kombinasi vokal dan konsonannya terkesan aneh. Kebanyakan masyarakat akan mengira bahwa markus adalah nama orang yang ditunjuk Anggodo dalam kasus Bank Century. Lalu, begitu dinamiskah bahasa sehingga seringkali dibuat seenaknya dan terkadang memunculkan makna baru yang belum tentu berterima di masyarakat.

Perhatikan akronim “KarSa” (Soekarwo-Saifullah Yusuf) dan “balon” (bakal calon). Kemukakanlah pendapat Anda tentang kedua akronim tersebut. Pada akronim KarSa suku kata yang diambil adalah pada bagian tengah (Su-kar-wo Sai-ful-lah Yu-suf), menyaran pada Karsa yang berarti daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Pada akronim balon bagian yang diambil adalah bagian depan dan bagian belakang (ba-kal ca-lon). Menyaran pada kemerduan bunyi jika dibandingkan apabila menggunakan akronim baca (ba-kal ca-lon)

Perhatikan dengan saksama kutipan berikut ini. "Kita menggunakan akronim sebagai salah satu jalan keluar agar kalimat yang kita ungkapkan terasa ringkas, mudah diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa yang beringatan pendek ini" Menurut Anda, apa sebenarnya yang ingin disampaikan penulis opini “Pil Pilu Pemilu” ini? Kata lain untuk ‘bangsa pelupa’ adalah ‘bangsa pendek ingatan’. Ambiguitas pengertian serta merta timbul dari ungkapan ‘bangsa pendek ingatan’, sebab kata-kata ini dapat bernuansa negatif, sepadan dengan kelompok manusia yang bertindak emosional dan tidak sanggup berpikir jauh ke depan. Atau, setelah bertindak baru mulai berpikir, sehingga segala konsekuensi yang mengikutinya bukan lagi menjadi tanggung jawab si penutur. 

“Akronim bukanlah kata. Akronim hanyalah kata semu yang proses morfologisnya menimbulkan prinsip semau gue”. Kemukakanlah pendapat Anda tentang hal ini. Satuan terkecil akronim adalah huruf atau suku kata dari sejumlah kata yang dipadatkan. Namun, tidak ada kesepakatan dalam pemadatan itu. Huruf atau suku kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot: yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip adalah unsur kata dasar atau kata turunan. Pembuat akronim terkadang hanya mementingkan kemerduan bunyi saja tanpa memperhatikan proses pembentukan katanya.

Bagaimana Anda menyikapi akronim yang berkembang dalam bahasa Indonesia? Bahasa merupakan ungkapan dan cerminan kehidupan budaya dalam arti yang luas. Dapat juga dikatakan bahwa perubahan bahasa mencerminkan perubahan budaya dalam berbagai segi. Bahasa memberikan gambaran orang yang memakai bahasa itu. Akronim cenderung hanya dimengerti oleh kalangan tertentu, akronim itu cenderung membingungkan, bahkan pembaca atau pendengar bisa terkecoh atau tertipu.

Menurut Anda, apakah akronim dapat memperkaya atau malah merusak bahasa Indonesia? Menurut saya akronim dapat merusak bahasa Indonesia. Menyingkat-nyingkat tulisan memang mudah saja, tapi bahayanya adalah merusak bahasa. Misalnya akronim murmer kepanjangannya yaitu murah meriah yang tujuannya tentu saja untuk menarik perhatian pembaca/pelanggannya dalam rangka promosi. Menurut saya tidak perlulah menambah, mengurangi, bahasa kita yang justru malah merusak bahasa kita Indonesia. Bukankah cinta tanah air termasuk di dalamnya cinta bahasa Indonesia? Hal ini yang perlu kita tanamkan kembali pada generasi-generasi muda Indonesia untuk lebih cerdas dengan berbahasa yang baik.

Carilah berbagai akronim yang telah berkembang dalam bahasa Indonesia. Buatlah contoh kalimat yang mengandung akronim tersebut.
No.AkronimKepanjanganContoh dalam Kalimat
1.PuskesmasPusat kesehatan masyarakatPuskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan disatu atau sebagian wilayah kecamatan. 
2.TilangBukti PelanggarangKalau anda ingin menghadiri sidang, datanglah sesuai tanggal sidang yang tertera di surat tilang ke PN yg ditunjuk.
3.RudalPeluru kendaliSebelum tahun 2012, boleh dibilang lini sista rudal udara ke udara yang dimiliki TNI AU cukupinferior bila dibandingkan AU Singapura dan AU Malaysia.
4.PemkotPemerintah KotaMenjelang Lebaran, tim gabungan Pemkot Malang mengadakan inspeksi mendadak makanan dan minuman di sejumlah toko dan swalayan
5.GepengGelandangan dan pengemisDua gepeng yang biasa mangkal di Simpang Siti Hajar Jalan Jamin Ginting Medan, berlari kencang saat Satuan Polisi Pamong Praja hendak menangkap mereka.
6.SiskamlingSistem keamanan lingkunganDalam pelaksanaan kegiatan ataupun aktivitas siskamling, dilakukan dengan ronda. Ronda adalah berjalan berkeliling (patroli) untuk menjaga keamanan di kampung / desa setempat baik dengan jalan kaki ataupun menggunakan kendaraan bermotor.
7.PosyanduPos pelayanan terpaduMenurut Effendy (1998), Posyandu merupakan forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat, dari oleh dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. 
8.TogaTanaman Obat keluarGAPemanfaatan TOGA yang digunakan untuk pengobatan gangguan kesehatan keluarga menurut gejala umum adalah: Demam panas, Batuk, Sakit perut, dan Gatal-gatal.
9.Sinetronsinema elektronikRCTI kembali mendobrak dunia persinetronan tanah air dengan mengeluarkan salah satu sinetron yang bergenre remaja, cinta dan sedikit keren berbau jalanan dimana para pemainya sekelas aktor Ganteng Stefean William dalam sinetron ini mengendari motor Sport dengan para ganknya.
10.CuranmorPencurian kendaraan bermotorKapolsek Serpong Kompol Heribetrus Ompusunggu memperlihatkan tersangka dan barang bukti curanmor saat di Mapolsek Serpong,