Tuesday 21 December 2021

Apa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baku?

Kita sebagai pemakai bahasa Indonesia, pernah berpikir, "Apa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baku?





Ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan, merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah orang. Ragam itu jugalah yang kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu disebut bahasa Melayu Tinggi dikenal juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga yang dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan kemudian dapat menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting. Pemuka masyarakat yang berpendidikan umumnya terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya sebagai tolok menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar baginya.


Proses tersebut terjadi di dalam banyak masyarakat bahasa yang terkemuka seperti Prancis, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, dan Italia. Di Indonesia keadaannya agak berlainan: pejabat tinggi, pemuka, dan tokoh masyarakat kita dewasa ini berusia antara 50 dan 70 tahun dan tidak semuanya memperoleh kesempatan memahiri ragam à bahasa sekolah dengan secukupnya. Peristiwa revolusi kemerdekaan kita agaknya yang menjadi musababnya. Karena itu, mungkin tidak amat tepat menyamakan bahasa Indonesia yang baku dengan bahasa golongan pemimpin masyarakat secara menyeluruh. Masalahnya di Indonesia ialah kemahiran berbahasa yang benar, walaupun dihargai, belum menjadi prasyarat untuk kedudukan yang terkemuka di dalam masyarakat kita. Mengingat kenyataan tersebut di atas kita perlu kembali ke dunia pendidikan yang menurut adat menjadi persemaian para pemimpin. Ragam bahasa yang diajarkan dan dikembangkan di dalam lingkungan itulah yang akan menjadi ragam bahasa calon pemimpin kita sehingga pada suatu saat bahasa Indonesia yang baku memang dapat disamakan dengan ragam bahasa golongan pemuka yang memancarkan gengsi dan wibawa kemasyarakatan. Oleh sebab itu, di Indonesia, semua proses pembakuan hendaknya bermula pada ragam bahasa pendidikan dengan berbagai coraknya dari sudut pandangan sikap, bidang, dan sarananya. 


Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak, bukan pengrajin dan pengrusak. Kehomoniman yang timbul akibat penerapan kaidah itu bukan alasan yang cukup kuat untuk menghalalkan penyimpangan itu. Bahasa mana pun tidak dapat luput dari kehomoniman. Di pihak lain, keman tapan itu tidak kaku, tetapi cukup luwes sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di bidang kosakata dan peristilahan serta meng izinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern. Misalnya, di bidang peristilahan muncul keperluan untuk membeda kan pelanggan 'orang yang berlanggan(an)' dan langganan 'orang yang tetap menjual barang kepada orang lain; hal menerima terbitan atau jasa atas pesanan secara teratur'. Ragam baku yang baru, antara lain, dalam penulisan laporan, karangan ilmiah, undangan, dan percakapan telepon perlu dikembangkan lebih lanjut.


Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaan-nya Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena proses bernalar secara cendekia bersifat semesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan bahasa Indonesia tidak perlu diartikan sebagai pembaratan bahasa.


Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah ciri ketiga ragam bahasa yang baku. Setelah mengenali ketiga ciri umum yang melekat pada ragam standar bahasa kita, baiklah kita beralih ke pembicaraan tentang lajunya proses pembakuan di bidang ejaan, lafal, kosakata, dan tata bahasa sampai kini.



No comments:

Post a Comment