Tuesday 2 January 2024

Analisis Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

 Ronggeng Dukuh Paruk

Karya Ahmad Tohari



Sepang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air lainnya.


Namun kemarau belum usai. Ribuan hektare sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.


Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.


Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun Kering Pucuk-pung kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.


Udara panas berbulan-bulan mengeringkan berjenis biji-bijian. Buah randu telah menghitam kulitnya, pecah menjadi tiga juring. Bersama tiupan angin terburai gumpalan-gumpalan kapuk. Setiap gumpal kapuk mengandung biji masak yang siap tumbuh pada tempat ia hinggap di bumi. Demikian kearifan alam mengatur agar pohon randu baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya.


Pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya. Biji dadap yang telah tua menggunakan kulit polongnya untuk terbang sebagai baling-baling. Bila angin berembus, tampak seperti ratusan kupu terbang menuruti arah angin meninggalkan pohon dadap. Kalau tidak terganggu oleh anak-anak Dukuh Paruk, biji dadap itu akan tumbuh di tempat yang jauh dari induknya. Begitu perintah alam.


Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri.


Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang- orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya.


Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.


Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah engah, namun batang singkong itu tetap tegak ditempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal.



"Cari sebatang cungkil," kata Rasus kepada dua temannya. "Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini."


"Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini," ujar Warta. "Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini. Pasti nanti kita mudah mencabutnya."


"Air?" ejek Darsun, anak yang ketiga. "Di mana kau dapat menemukan air?"


Kemudian Rasus, Warta, dan Darsun berpandangan. Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang singkong itu kembali.


Urat-urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan hentakan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut halus terputus. Perlahan tanah merekah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak Dukuh Paruk itu jatuh terduduk. Tetapi sorak-sorai segera terhambur. Singkong dengan umbi-umbinya yang hanya sebesar jari tercabut.


Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu harus berhenti di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut.


Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah.


Sambil membersihkan mulutnya dengan punggung lengan, Rasus mengajak kedua temannya melihat kambing-kambing yang sedang mereka gembalakan. Yakin bahwa binatang gembalaan mereka tidak merusak tanaman orang, ketiganya berjalan ke sebuah tempat di mana mereka sering bermain. Di bawah pohon nangka itu mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota (Ronggeng Dukuh Paruk, 1982:1-5).


Karena letak Dukuh Paruk di tengah amparan sawah yang sangat luas, tenggelamnya matahari tampak dengan jelas dari sana. Angin bertiup ringan. Namun cukup meluruhkan dedaunan dari tangkainya. Gumpalan rumput kering menggelinding dan berhenti karena terhalang pematang.


Hilangnya cahaya matahari telah dinanti oleh kelelawar dan kalong. Satu- satu mereka keluar dari sarang, di lubang-lubang kayu, ketiak daun kelapa atau kuncup daun pisang yang masih menggulung. Kemarau tidak disukai oleh bangsa binatang mengirap itu. Buah-buahan tidak mereka temukan. Serangga pun seperti lenyap dari udara. Pada saat demikian kampret harus mau melalap daun waru agar kehidupan jenisnya lestari.


Pelita-pelita kecil dinyalakan. Kelap-kelip di kejauhan membuktikan di Dukuh Paruk yang sunyi ada kehidupan manusia. Bulan yang lonjong hampir mencapai puncak langit. Cahayanya membuat bayangan temaram di atas tanah kapur Dukuh Paruk. Kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan. Langit bening.


Udara kemarau makin malam makin dingin. Pagelaran alam yang ramah bagi anak-anak. Halaman yang kering sangat menyenangkan untuk arena bermain. Cahaya bulan mencipta keakraban antara manusia dengan lingkup fitriyahnya. Anak-anak, makhluk kecil yang masih lugu, layak hadir di halaman yang berhias cahaya bulan. Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (Ronggeng Dukuh Paruk, hlm 7-9).


Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Jelaskan tema cerita tersebut!

2. Jelaskan alur cerita tersebut!

3. Jelaskan latar cerita tersebut!

4. Jelaskan penokohan cerita tersebut!

5. Jelaskan sudut pandang cerita tersebut!

6. Jelaskan amanat cerita tersebut!

7. Jelaskan gaya bahasa cerita tersebut!


Pembahasan

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan sebuah novel karya Ahmad Tohari yang menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan di Dukuh Paruk. Cerita ini memiliki banyak lapisan yang mencakup kehidupan sehari-hari, budaya, serta konflik internal dan eksternal yang dihadapi oleh para tokoh.


1. Tema cerita: Beragam tema hadir dalam cerita ini, antara lain adalah perjuangan hidup di tengah kemarau yang melanda, kehidupan masyarakat pedesaan yang terpencil, kebudayaan tradisional dan pertentangan dengan nilai-nilai modern, serta kompleksitas hubungan sosial antara tokoh-tokoh di dalamnya.


2. Alur cerita: Alur cerita novel ini mengikuti kehidupan sehari-hari masyarakat Dukuh Paruk, dari kondisi kemarau yang melanda hingga interaksi tokoh-tokoh dalam menjalani kehidupan mereka. Berbagai kejadian, konflik, dan hubungan antar tokoh dikembangkan dalam alur yang menggambarkan dinamika kehidupan mereka.


3. Latar cerita: Cerita ini berlatar di Dukuh Paruk, sebuah desa terpencil yang terkena dampak kemarau panjang. Kehidupan pedesaan yang sederhana, kondisi alam yang keras akibat kemarau, serta tradisi dan kebudayaan lokal menjadi latar utama di mana semua kejadian berlangsung.


4. Penokohan cerita: Ada beberapa tokoh utama seperti Rasus, Warta, Darsun, Srintil, Ki Secamenggala, dan beberapa tokoh lain yang merupakan bagian dari masyarakat Dukuh Paruk. Setiap tokoh memiliki peran yang berbeda, merepresentasikan berbagai aspek kehidupan pedesaan, mulai dari anak-anak yang bermain hingga tradisi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.



Dalam novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari, setiap tokoh memiliki keunikan dalam kepribadian dan peran mereka dalam kehidupan masyarakat Dukuh Paruk:


(1) Rasus: Dia adalah sosok yang penuh dengan semangat dan juga memiliki sifat kepemimpinan. Rasus cenderung menjadi sosok yang proaktif dan percaya diri dalam menghadapi situasi. Dia merupakan tokoh yang mampu mengambil inisiatif dan memimpin, serta memiliki keberanian untuk mencoba memecahkan masalah.


(2) Warta: Berbeda dengan Rasus, Warta cenderung lebih bijaksana dan tenang. Dia memiliki sifat yang lebih sabar dan lebih mengandalkan pertimbangan sebelum bertindak. Warta lebih mengutamakan pemikiran yang cermat sebelum mengambil keputusan, sehingga ia memberikan perspektif yang berbeda dalam menjalani kehidupan sehari-hari.


(3) Darsun: Darsun adalah tokoh yang lebih skeptis dan realistis. Ia cenderung melihat sisi-sisi praktis dalam setiap situasi. Darsun mungkin lebih pesimis atau kritis terhadap ide-ide yang dianggapnya tidak masuk akal atau sulit diwujudkan. Meskipun begitu, ia memiliki kejujuran dan kecerdasan dalam memandang kehidupan.


(4) Srintil: Sebagai satu-satunya perempuan yang disebutkan secara khusus dalam kutipan yang diberikan, Srintil mungkin merupakan tokoh yang lebih lembut, ceria, dan memiliki daya kreativitas tinggi. Ia terlihat dalam adegan sedang asyik bermain dan merangkai daun nangka untuk membuat mahkota. Srintil juga bisa merepresentasikan sisi kelembutan dan keterampilan dalam menciptakan hal-hal indah di tengah kekerasan alam dan kehidupan sehari-hari.


(5) Ki Secamenggala: Ki Secamenggala adalah sosok yang menarik, menjadi moyang bagi penduduk Dukuh Paruk. Meskipun riwayatnya sebagai seorang bromocorah, masyarakat memujanya. Kuburnya di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Ki Secamenggala merepresentasikan kompleksitas dalam pandangan masyarakat terhadap tokoh yang memiliki riwayat kelam, namun dilihat sebagai sosok yang penting dalam sejarah dan spiritualitas mereka.


Setiap tokoh ini membawa dinamika dan warna yang berbeda dalam cerita, merefleksikan ragam karakter dan peran yang ada dalam masyarakat pedesaan yang kompleks.



5. Sudut pandang cerita: Novel ini menceritakan dengan sudut pandang pihak ketiga atau pengamat yang objektif, memberikan gambaran luas tentang kehidupan masyarakat Dukuh Paruk tanpa terfokus pada sudut pandang atau pikiran spesifik satu tokoh.


6. Amanat cerita: Salah satu amanat dari cerita ini adalah menggambarkan kekuatan kebersamaan dan kehidupan di tengah kesulitan serta menggugah pemahaman akan kehidupan pedesaan yang kompleks, serta pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi dalam menghadapi modernisasi.


7. Gaya bahasa: Ahmad Tohari menggunakan gaya bahasa deskriptif yang kaya akan detail dan imajinatif, menggambarkan dengan sangat jelas kondisi alam, kehidupan sehari-hari, serta perasaan dan pikiran tokoh-tokoh dalam novel ini. Ia juga menggunakan bahasa yang khas untuk menggambarkan kehidupan pedesaan dan kekayaan budaya lokal.


Dalam kutipan yang diberikan, terdapat beberapa majas atau gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari untuk memperkaya deskripsi dan penyampaian cerita:


(1) Personifikasi: Penggunaan personifikasi terlihat saat alam atau objek alami diberi atribut atau sifat manusia. Contohnya, "Pelita-pelita kecil dinyalakan" atau "Hilangnya cahaya matahari telah dinanti oleh kelelawar dan kalong." Di sini, alam dan binatang seperti kelelawar diberikan sifat manusiawi, seperti menunggu atau melakukan sesuatu.


(2) Simile: Ahmad Tohari menggunakan simile atau perbandingan yang menggunakan kata "seperti" atau "bagai" untuk menggambarkan suatu hal. Contohnya, "Dia terbang bagai batu lepas dari katapel" atau "Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air."


(3)Metafora: Metafora muncul saat ada penggunaan kata-kata untuk menyamakan atau menggambarkan suatu hal secara tidak langsung. Contohnya, "Kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan. Langit bening." Di sini, langit yang bening dapat menjadi metafora untuk kejernihan atau ketenangan.


(4)Hiperbola: Terdapat hiperbola saat ada penggunaan penggambaran yang berlebihan atau berlebih-lebihan. Contohnya, "Gumpalan rumput kering menggelinding dan berhenti karena terhalang pematang." Penggunaan kata "berhenti karena terhalang pematang" dapat dianggap sebagai hiperbola untuk menyoroti penghentian yang dramatis.


(5) Alusi:Alusi adalah penggunaan referensi atau sindiran terhadap hal lain yang tidak secara langsung disebutkan. Contohnya, "Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka." Di sini, "kiblat kehidupan kebatinan mereka" bisa dianggap sebagai alusi terhadap spiritualitas atau keyakinan yang dimiliki masyarakat terhadap tokoh tersebut.


Penggunaan majas ini membantu memperkaya bahasa serta memberikan gambaran yang lebih hidup dan mendalam dalam menggambarkan kondisi alam, kehidupan masyarakat, dan interaksi antar tokoh dalam cerita.


No comments:

Post a Comment