TAJUK RENCANA
Dilema Persampahan di DIY
PEMDA DIY belum juga berhasil mengatasi masalah persampahan. Sementara, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Piyungan yang rencananya akan dibuka kembali 5 September hari ini diprediksi juga takkan mampu menampung kiriman sampah dari Kota, Bantul dan Sleman. Sebab, kuota maksimal TPA Piyungan hanya mampu menampung 180 ton sampah perhari. Lantas mau dibuang ke mana sisa sampah yang tidak bisa ditampung?
Untuk itulah konsekuensinya, kabupaten/kota diminta untuk mengolah sampahnya secara mandiri untuk mewujudkan desentralisasi pengolahan sampah. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY pun belum bisa memprediksi kapan TPA Regional Piyungan bisa bertahan.
Berdasar informasi, saat ini Pemda DIY sedang menyiapkan Zona Transisi Dua yang lokasinya tak jauh dari TPA Piyungan, pembangunannya ditarget selesai Oktober 2023 mendatang. Diharapkan Zona Transisi Dua ini dapat menampung sampah yang diproduksi masyarakat hingga 2024. Karena pada waktu itu, DIY kemungkinan baru akan memulai tahap pembangunan teknologi pengolah sampah yang baru (KR 4/9).
Masyarakat mungkin belum banyak tahu seperti apa dan bagaiamana teknologi pengolahan sampah yang hendak diterapkan di DIY. Sembari menunggu itu terwujud, kabupaten/kota diminta tetap melakukan pengolahan sampah secara mandiri. Kita tentu merespons upaya tersebut sebagai hal positif guna mengurangi sampah yang dibuang di TPA Piyungan.
Namun kiranya perlu diingat bahwa pengolahan sampah secara mandiri, termasuk yang dilakukan di bank sampah yang tersebar di beberapa kampung di DIY, belum sebanding dengan produksi sampah yang dihasilkan masyarakat. Artinya, tidak semua produk sampah itu dapat diolah untuk kemudian disulap menjadi barang bernilai ekonomi. Kita mendukung imbauan pemerintah daerah kepada masyarakat untuk membuat biopori di pekarangan rumah, tentu syaratnya kalau punya lahan.
Kiranya perlu dievaluasi sejauh mana efektivitas pembuatan biopori untuk mengurangi tumpukan sampah rumah tangga, apakah signifikan? Itu terkait dengan sampah organik yang bisa dijadikan pupuk atau lainnya. Sedang sampah anorganik diarahkan untuk diolah menjadi barang bernilai ekonomis, pun membutuhkan proses.
Kondisi saat ini sangat dilematis, karena belum semua warga mampu mengolah sampahnya sendiri. Kalaupun bisa, hasilnya masih belum signifikan. Pada saat yang sama, pembuangan sampah di TPA dibatasi. Yang terjadi kemudian, sampah menumpuk di pinggir jalan, lantaran warga kebingungan hendak membuang sampah ke mana.
Berkaitan itu, Satpol PP dikerahkan untuk menertibkan warga yang membuang sampah sembarangan. Patroli pun digencarkan di banyak titik lokasi biasanya warga membuang. sampah. Mereka yang kedapatan membuang sampah sembarangan, diproses hukum dan diancam tindak pidana ringan (tipiring). Tak pelak terjadi 'kucing-kucingan' antara warga dan petugas, sungguh ini pemandangan yang ironis.
Secara yuridis tentu sudah benar apa yang dilakukan petugas, memproses hukum mereka yang membuang sampah sembarangan. Namun, untuk saat ini, pendekatan yang mengedepankan penghukuman atau punishment rasanya kurang pas. Mengatasi persampahan harus menggunakan pendekatan multidisiplin, tak hanya hukum saja, tapi juga harus menggunakan pendekatan edukatif, sosial-kemanusiaan dengan bertumpu pada pemeliharaan dan penyelematan lingkungan.
Berdasarkan teks tersebut, kerjakan soal berikut ini!
1. Temukan dua kalimat fakta!
2. Temukan 2 kalimat opini!
3. Identifikasilah bagian tesis!
4. Identifikasilah bagian argumentasi!
5. Identifikasilah bagian penegasan ulang!
6. Berdasarkan teks tersebut susunlah sebuah teks tajuk rencana yang bagus!
Jawaban:
1. Kalimat Fakta:
a. "Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Piyungan hanya mampu menampung 180 ton sampah perhari."
b. "Pemda DIY sedang menyiapkan Zona Transisi Dua yang lokasinya tak jauh dari TPA Piyungan, pembangunannya ditarget selesai Oktober 2023 mendatang."
2. Kalimat Opini:
a. "Masyarakat mungkin belum banyak tahu seperti apa dan bagaimana teknologi pengolahan sampah yang hendak diterapkan di DIY."
b. "Kiranya perlu dievaluasi sejauh mana efektivitas pembuatan biopori untuk mengurangi tumpukan sampah rumah tangga, apakah signifikan?"
3. Bagian Tesis:
Bagian tesis tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks, tetapi bisa diidentifikasi sebagai "Dilema Persampahan di DIY" yang merupakan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam teks.
4. Bagian Argumentasi:
Bagian argumentasi terdapat dalam beberapa bagian teks yang menjelaskan tantangan dan permasalahan dalam pengelolaan sampah di DIY, seperti keterbatasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, upaya Pemda DIY dalam mencari solusi, dan pembuatan biopori.
5. Bagian penegasan ulang dari teks tersebut menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam mengatasi masalah persampahan. Teks menyatakan bahwa mengatasi persampahan tidak hanya tentang hukuman atau penghukuman, melainkan juga melibatkan pendekatan edukatif dan sosial-kemanusiaan yang berfokus pada pemeliharaan dan penyelematan lingkungan. Dengan demikian, penyelesaian masalah persampahan memerlukan kolaborasi dan partisipasi dari berbagai pihak, serta pemahaman yang lebih mendalam tentang upaya pengolahan sampah yang berkelanjutan. Teks ini mencoba menggambarkan bahwa situasi persampahan di DIY saat ini adalah suatu dilema yang memerlukan solusi yang lebih holistik dan terkoordinasi.
6. Teks Tajuk Rencana:
"Tantangan Besar dan Solusi Terobosan untuk Mengatasi Persampahan di DIY"
Saat ini, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dihadapkan pada dilema yang memprihatinkan terkait persoalan persampahan. Meskipun Pemerintah Daerah DIY telah berusaha keras, masalah persampahan masih belum terselesaikan dengan memadai. Dalam beberapa tahun terakhir, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Piyungan yang seharusnya menjadi solusi, ternyata juga tidak cukup mampu menampung jumlah sampah yang terus meningkat dari Kota Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Kapasitas maksimal TPA Piyungan yang hanya 180 ton per hari ternyata masih jauh dari mencukupi.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah daerah telah mengusulkan solusi yang menarik perhatian, yaitu desentralisasi pengelolaan sampah. Kabupaten dan kota di DIY diminta untuk mengelola sampah mereka sendiri. Namun, pelaksanaan solusi ini masih memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dalam rencana pembangunan, DIY sedang mempersiapkan Zona Transisi Dua yang diharapkan dapat menampung sampah dari masyarakat hingga tahun 2024. Namun, pada saat yang sama, pengembangan teknologi pengolahan sampah yang lebih efisien juga masih dalam tahap perencanaan.
Bagian penting dari solusi ini adalah partisipasi masyarakat. Saat ini, banyak yang mungkin masih belum akrab dengan teknologi pengelolaan sampah yang akan diterapkan di DIY. Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk tetap melakukan pengelolaan sampah secara mandiri, seperti yang telah dilakukan melalui bank sampah di beberapa kampung di DIY. Namun, kendala yang dihadapi adalah bahwa pengelolaan sampah mandiri belum mampu mengatasi produksi sampah yang terus meningkat. Bukan semua jenis sampah dapat diubah menjadi barang bernilai ekonomi, dan ini adalah tantangan yang perlu dihadapi.
Selain itu, perlu dievaluasi sejauh mana efektivitas pembuatan biopori dalam mengurangi tumpukan sampah rumah tangga. Sampah organik yang dapat diubah menjadi pupuk adalah salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Namun, pengolahan sampah anorganik menjadi barang bernilai ekonomi juga merupakan hal yang penting, meskipun memerlukan proses yang lebih kompleks.
Kita berada di tengah-tengah situasi yang dilematis. Belum semua warga memiliki kemampuan untuk mengelola sampah mereka sendiri, dan bahkan jika bisa, hasilnya masih jauh dari cukup. Sementara itu, pembuangan sampah di TPA Piyungan harus dibatasi, yang berujung pada penumpukan sampah di pinggir jalan karena warga bingung harus membawanya ke mana.
Untuk mengatasi masalah ini, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) telah dikerahkan untuk menertibkan warga yang membuang sampah sembarangan. Patroli juga ditingkatkan di berbagai lokasi yang biasanya digunakan warga untuk membuang sampah. Namun, perlu diingat bahwa pendekatan yang mengedepankan hukuman atau tindakan pidana mungkin tidak selalu efektif dalam mengatasi persoalan persampahan. Sebuah pendekatan multidisiplin yang mencakup edukasi, aspek sosial, dan kemanusiaan harus digunakan, dengan fokus pada pemeliharaan dan perlindungan lingkungan.
Dalam tajuk rencana ini, kami akan mengeksplorasi lebih dalam mengenai tantangan besar yang dihadapi DIY dalam mengelola persampahan dan solusi terobosan yang bisa menjadi landasan bagi penyelesaian masalah ini. Dengan memahami kompleksitas masalah persampahan dan berbagai upaya yang telah dilakukan, kita dapat mencari cara untuk mencapai lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan untuk generasi masa depan.